Di balik jendela aku menatap hujan yang tak
kunjung reda. Meratap, bersama sebelah sayap yang patah yang sejatinya
ingin kugunakan untuk terbang menuju surga-Nya. Tepat di depan jendela
dari tempatku duduk, terbentang jalan utama kota ini. Nuansa malam yang
begitu indah, lampu kendaraan yang berkilauan sebab jatuhnya jutaan
rintik air yang menerpanya. Malam ini, setahun sudah surgaku menghilang
dan tak akan kembali pulang. Surga yang selama ini kusiakan dan bahkan
tak kusadari keberadaanya yang begitu dekat.
//
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
//
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
//
Aku adalah termasuk salah satu pengusaha muda yang sukses. Menjadi
manajer sebuah perusahaan asing di umur yang baru menginjak angka
duapuluh tujuh tahun tentunya sudah mampu menjadi tolok ukur
kesuksesannku. Sebagai seorang muslim, tentu limpahan rizki dari-Nya
membuatku lebih mudah untuk melaksanakan kewajiban bersedekah. Setiap
bulan kusisihkan lima persen penghasilan untuk kemaslahatan umat.
Bersedekah adalah sebuah keharusan, karena bagiku itu adalah salah satu
cara yang tepat untuk mensyukuri nikmat yang kudapatkan sekaligus untuk
‘membeli’ surga-Nya. Dua kali sudah ibadah haji kulaksanakan, dengan
pekerjaan dan penghasilan yang sekarang ini, bahkan untuk berhaji setiap
satu tahun sekalipun bukanlah hal yang mustahil.
Saat ini aku
tinggal di kota Jakarta. Sebuah kota yang penuh dengan kemegahan
sekaligus juga penuh godaan. Di kota inilah semua cerita bermula. Tepat
lima tahun yang lalu, berbekal dengan ijazah S1, kucoba mengadu nasib di
kota metropolitan ini. Awalnya ibuku tak mengizinkannya, sebab ayahku
telah meninggal sejak aku masih kecil. Jika aku pergi merantau ke
Jakarta, maka ibu hanya tinggal dengan dua adikku yang masih duduk di
bangku SMA. Tapi, tekadku sudahlah bulat, aku ingin menjadi orang yang
sukses dan mengangkat derajat ibu dan adik-adikku. Ternyata Allah
mendengar segala doa yang kupanjatkan setiap sepertiga malam selepas
salat tahajud. Di kota inilah rizki yang telah dpersiapkan-Nya
diturunkan. Tidak butuh waktu lama, hanya dalam jangka 3 tahun aku sudah
mampu menjadi manajer di sebuah perusahaan asing ternama.
Setiap bulan, aku rutin mengirimkan uang ke kampung halaman untuk
kebutuhan ibu dan kedua adikku. Kesibukan bekerja membuatku tidak bisa
pulang ke kampung halaman selama lima tahun terakhir. Hanya lewat
telepon aku bisa berkomunikasi dan bertukar kabar dengan ibuku.
****
Malam itu, aku sedang ada ‘meeting’ dengan salah satu ‘klien’. Sebuah
tander yang besar sedang coba kuraih. Jika bisa kumenangkan tander ini,
bonus ratusan juta bahkan miliaran rupiah bisa didapatkan. Di
tengah-tengah ‘meeting’, telepon genggamku berdering. Kulihat ternyata
ada pesan masuk dari ibu.
“Nak, jangan lupa salat!”
Setelah kubaca, kembali kuletakkan telepon genggamku di meja tanpa
kubalas pesan ibu. Aku tak ingin ‘klienku’ terganggu sebab kutinggal
untuk membalas pesan dari ibu.
Tak lama kemudian, kembali
telepon genggamku berdering. Kali ini sebuah panggilan masuk. Kulihat
layar telepon genggam, ternyata ibu yang menghubungi. Kutolak panggilan
itu. Tak selang beberapa lama kemudian, lagi-lagi telepon gengamku
berdering, dan masih juga panggilan dari ibu. Kulihat ‘klienku’ mulai
tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Benar saja, beberapa saat
kemudian, ‘klien’ tersebut mengingatkan, “Maaf, Pak, ini tander
besar, bukan main-main. Saya harap Bapak mematikan telepon gengamnya
dulu agar ‘meeting’ ini bisa berjalan dengan lancar!”
“Iya, Pak. Maaf atas ketidaknyamanan ini.”
Langsung saja kumatikan telepon genggamku. Pikiran dan hati mulai
bergejolak, rasa kesal menyelimuti. Kesal terhadap ibu sendiri yang
menggangu pekerjaanku hari ini.
‘Meeting’ akhirnya telah
selesai. Sebuah keputusan pahit harus diterima, ternyata aku tak bisa
memenangkan tander. Kekecewaan yang sangat besar kurasakan.
“Ini gara-gara Ibu!!!”
Hatiku kian berkecamuk. Dengan langkah yang malas kutinggalkan tempat
‘meeting’. Selepas keluar dari tempat meeting tersebut, kuambil telepon
genggamku lalu kunyalakan. Lekas kuhubungi ibu, “Assalamualikum, Nak”
“Waalaikumsalam, tadi kenapa Ibu menghubungi?”
“Ibu kangen, Nak!”
“Tahu tidak!!! Gara-gara Ibu menghubungi tadi, semua pekerjaanku jadi
kacau balau. Lain kali jangan menghubungi lagi kalau aku tidak
menghubungi Ibu terlebih dahulu!” Bentakku dengan nada yang keras
sekligus langsung kututup telepon.
Kekesalan masih menyelimuti
pikiran. Setelah peristiwa itu, Ibu tak pernah menghubungi lagi.
Sesekali rasa bersalah menghinggapi sebab aku telah membentak ibu
kandungku sendiri. Tapi saat itu, memang dia yang salah sehingga aku tak
bisa memenangkan tander miliaran rupiah. Jika saja bisa memenangkan
tander tersebut, aku bisa mewujudkan salah satu cita-cita yaitu
mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Dengan begitu, aku akan mampu menambah
amalan dan bekal untuk meraih surga-Nya. Sebagai seorang muslim, tentu
menambah amalan dan bekal untuk menuju akhirat adalah menjadi prioritas
utama dalam menjalani kehidupan ini.
***
Sebulan sudah
berlalu sejak peristiwa itu. Aku masih saja menyesal karena tidak bisa
memenangkan tander. Di sepertiga malam, kulaksanakan salat tahajud
dilanjutkan dengan memohon kepada-Nya agar diberi kesempatan lagi untuk
bisa mendapatkan tander yang serupa. Selama ini aku rutin melaksanakan
saat tahajud dan salat duha. Sebuah ibadah yang sejak masih sekolah
selalu kulakukan.
Pagi ini aku bersiap untuk menuju kantor.
Pikiran terasa tidak fokus, entah apa yang membutanya terasa melayang,
yang jelas aku benar-benar merasa hampa.
Tiba-tiba saja telepon genggamku berdering. Ternyata panggilan masuk dari adik pertamaku bernama Zahra.
“Assalamualikum, Mas.”
“Waaliakumsallam, ada apa, Ra? Tumben pagi-pagi gini hubungi, Mas?”
“Ibu sakit, Mas. Dia minta kamu buat pulang ke kampung!”
“Aku sedang sibuk, Ra. Bawa aja ibu ke rumah sakit. Nanti Mas kirimkan uang untuk biayanya.”
“Tapi, Mas ….”
“Sudah, tak perlu tapi tapi. Mas mau berangkat kerja dulu. Assalamualikum!”
Aku bergegas menuju kantor, hari ini adalah hari Jum’at. Seperti
biasanya, di hari seperti ini sebelum kegiatan kantor dimulai, semua
karyawan berkumpul untuk mengikuti pengajian. Hal ini tentu sangat
penting demi menjaga akhlak sekaligus kejujuran serta sebagai motivasi
kepada para karyawan agar dapat bekerja dengan ikhlas dan jujur.
Sesampainya di kantor, terlihat sudah banyak karyawan yang berkumpul.
Pengajian pun sudah akan dimulai. Ada yang berbeda dari pengajian hari
ini, terlihat laki-laki setengah baya menggendong seorang nenek-nenek.
Dia berjalan menuju ke dalam Masjid. Ternyata dia adalah Ustadz yang
akan mengisi pengajian hari ini. Lalu siapa nenek-nenek yang
digendongnya itu? Kenapa untuk mengisi pengajian dia repot-repot
menggendong seorang nenek-nenek? Ah, sudahlah. Lebih baik aku masuk ke
dalam saja, siapa tahu nanti Ustadz tersebut mengenalkan diri sekaligus
mengenalkan siapa nenek-nenek di gendongannya itu.
Pengajian pun
dimulai. Ustadz tersebut mulai ceramahnya. Betapa kagetnya seisi ruangan
ketika Beliau memperkenalkan siapa yang bersamanya dan digendong
olehnya tadi. Ternyata nenek-nenek itu adalah ibu kandungnya.
“Ini adalah ibu saya. Setiap mengisi pengajian di manapun, saya selalu
membawa serta Beliau. Sudah tiga tahun terakhir Beliau menderita stroke,
sebab itulah saya harus menggendongnya.”
Semua karyawan di dalam
Masjid terdiam dan hanyut dalam nuansa yang entah. Termasuk aku, entah
kenapa tiba-tiba saja hati ini berkecamuk dan bergetar begitu
kencangnya.
Ustadz tersebut mulai menuju materi yang ingin
disampaikannya. Sebuah materi yang penuh dengan makna. Sebuah materi
yang menyadarkan bahwa aku telah membuat kesalahan yang sangat fatal.
//
Akar yang Tak Pernah Menyalahkan Tanah Gersang
Akar adalah sebuah komponen penting dalam tumbuhan. Dialah yang
senantiasa mencari makan agar tumbuhan tersebut dapat subur dan
menghasilkan buah-buah yang bagus. Meskipun di kemarau panjang
sekalipun, dan tanah-tanah mulai gersang, akar tidak akan berhenti
berusaha untuk mencari makan agar pohon berbuah. Dia tidak pernah
menyalahkan kemarau, pun juga tidak pernah berkeluh-kesah dan
menyudutkan tanah yang gersang. Baginya, mau musim hujan, musim kemarau,
tanah subur ataupun tanah gersang, dia akan harus senantiasa menjadi
penopang agar buah-buah dapat tumbuh di pohon.
Akar itu adalah
Ibu kita, buah di pohon adalah kita dan tanah gersang adalah kerasnya
kehidupan. Sekeras apapun kehidupan, seorang Ibu akan senatiasa berusaha
sekuat tenaga untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang
sukses! Sukses dunia akhirat tentunya. Yang perlu kita ketahui, meskipun
akar tak pernah terlihat tapi dia tetap akan selalu memberikan yang
terbaik agar pohon-pohon berbuah. Itulah keikhlasan seorang Ibu, dia tak
akan menampakkan apa yang telah dilakukan untuk anaknya dan tak akan
mengharap imbalan. Dari kecil sampai kita dewasa, Ibulah yang berperan
penting dalam kesuksesan yang kita raih saat ini.
Bahkan kita
sering mendengar, bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Itulah
sebabnya, kenapa saya selalu membawa serta Ibu saya dalam setiap mengisi
pengajian. Saya tidak ingin sedetik waktupun jauh dari surga. Meskipun
harus dengan menggendong Beliau, tapi ituah bentuk kasih sayang dan rasa
hormat sekaligus cara saya untuk meraih surga yang sejatinya selalu ada
di dekat kita.
Saat ini,banyak anak yang acapkali melupakan
Ibunya. Dengan kesuksesan yang didapat, seolah semua dapat dimiliki.
Sedekah, salat, bahkan baca Al-Qur’an rutin demi untuk meraih surga,
tapi mereka lupa bahwa ada surga di dekatnya!!! Bahwa ada surga yang
selama ini senantiasa menunggu untuk dijamah, surga itu adalah Ibu
kita!!!
//
Tiba-tiba saja bulir-bulir di mata mulai
berjatuhan. Diri ini mendapat tamparan yang sangat keras dari apa yang
disampaikan oleh Ustadz tersebut. Aku teringat saat membentak Ibu di
dalam telepon, saat kusalahkan Ibu karena menelponku waktu ‘meeting’.
Memang benar aku tak pernah lupa mengirim uang untuk Beliau, tapi tak
pernah sekalipun aku berkunjung untuk sekadar meminta maaf di Hari Raya
ataupun untuk sekadar mencium tangan yang selama ini menggendong dan
membelai tubuh mungilku dulu. Aku benar-benar larut dalam renungan yang
dalam. Air mata tak hentinya membasahi pipi. Tekadku kini sudah bulat,
setelah pengajian ini aku akan mengajukan cuti untuk kembali ke kampung
halaman, untuk bersimpuh di hadapan surga yang selama ini kuabaikan.
Sore itu, selepas pulang kerja, aku bergegas pulang ke kampung halaman.
Di sepanjang jalan, air mata ini masih saja mengalir tiada henti
teringat akan kedurhakaan yang telah diperbuat. Aku merasa menjadi orang
yang paling hina, segala ibadah yang kulakukan, naik haji, sedekah,
salat tahajud, salat duha dan juga ibadah wajib terasa sia-sia dan
percuma sebab aku telah mendurhakai ibuku seniri. Aku sibuk mencari
jalan untuk menuju surga, sedangkan surga itu selama ini ada di depan
pelupuk mata. Begitu larutnya dalam penyesalan, sampai-sampai tak sadar
bahwa berkali-kali telepon genggamku berdering. Kuambil teepon genggam,
terlihat sepuluh kali panggilan tak terjawab dari adikku. Lalu
kuletakkan kembali telepon genggam tersebut, karena rasanya tak perlu
kutelpon balik sebab sebentar lagi aku juga sudah sampai di rumah.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya laju mobilku berhenti di depan rumah
yang selama ini menjadi tempat bernaungku bersama ibu dan kedua adikku.
Terlihat ada yang berbeda, meski sudah jam sepuluh malam, tapi terlihat
banyak orang berkerumun di depan rumah.
Aku lantas turun dari
mobil, terlihat beberapa sanak saudara menghampiri dan menggandeng
tanganku sambil berkata “Sabar, ya, Za. Ini sudah menjadi takdir Allah.”
Aku semakin bingung dengan perkataan saudaraku tersebut. Sesampainya di
depan pintu rumah, terihat kedua adikku bersimpuh serambi menangis
sekencang-kencangnya. Di depan mereka terlihat tubuh yang sudah
terbungkus kain kaffan. Kakiku melemah, dadaku berdebar hebat, air
mataku tumpah. Kulihat wajah Ibuku, mata dan hidungnya tertutup kapas.
Tubunya kaku!!!
“Ibu ….!!!”
Kedua kakiku kini benar-benar
tak lagi mampu menopang tubuh. Tubuh ini tersungkur tepat di depan
jenazah ibu. Air mataku pecah membelah keheningan di dalam dada.
Kupanggil-panggil ibuku berulangkali sembari kugoyang-goyangkan tubuhnya
yang sudah kaku.
“Bangun, Bu!!! Bangun!!! Ini aku, anakmu.
Anakmu sudah pulang, Bu. Bukankah Ibu kangen dengan aku? Bukankah
kemarin Ibu ingin aku untuk pulang? Bangun, Bu! Bangun!!!”
Tak
henti-hentinya kugoyangkan tububuh ibu, sesekali kuciumi wajanya yang
layu. Kedua adikku menghampiri dan memeluk tubuhku erat-erat,
“Sabar, Mas.” Dengan sesenggukan mereka mencoba menegarkanku.
Tapi apa daya, yang ada justru kami bertiga bersimpuh di depan jenazah
Ibu, tangis kami semakin menjadi. Aku benar-benar terpukul. Merasa
benar-benar menjadi anak yang durhaka, tidak bisa mendampingi Bidadari
yang melahirkan dan mendidikku di saat-saat terakhirnya. Bahkan justru
sempat kusalahkan dia dan membentaknya dengan kata-kata yang tidak
seharusnya dia dapatkan dari anak kandungnya sendiri.
Beberapa
bulan terakhir ini ternyata Ibu mengidap sakit kanker. Dia tidak pernah
bercerita kepadaku karena tak ingin menggangu pekerjaanku. Waktu dia
menelpon dan berkata kangen denganku, dan ingin anaknya pulang ke
kampung, saat itu pula dia telah merasa bahwa waktunya hidup di dunia
sudah mulai habis. Dia ingin menghabiskan waktu itu denganku, anaknya
yang sejak lima tahun terakhir tidak pernah ada di sampingnya. Selama
itu pula dia tidak pernah protes sama sekali. Bahkan, setiap uang yang
kukirimkan selalu dia sisihkan sebagian. Untuk apa? Untuk membantu
menggapai cita-citaku yaitu mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Ya, begitu
besar kasih-sayangnya selama ini, meski lima tahun anaknya tak pernah
menemuinya, dia masih saja berusaha untuk membantu anaknya menggapai
cita-cita. Selayak akar yang terus berjuang di tanah yang gersang agar
buah tetap tumbuh di pohonnya.
***
Hujan di luar sana
masih saja belum reda. Aku masih menatap ke luar jendela. Kali ini,
hujan tak hanya turun di luar jendela, tapi juga di dalam jendela
tepatnya di mataku sendiri. Sebuah penyesalan terdalam membuat air mata
ini tak tertahankan. Aku kehilangan surgaku sesaat setelah aku baru saja
menyadari bahwa surga itu tepat berada di depanku, surga itu adalah
Ibu. Kini, surga itu benar-benar telah hilang. Selama ini aku berjalan
bermil-mil jauhnya untuk mencari surga itu, namun justru ternyata aku
mengabaikan surga yang sudah jelas ada di depan mata. Ya, sebelah
sayapku telah patah. Masih bisakah aku terbang dengan hanya sebelah
sayap untuk menemui surgaku yang telah berada di dalam surga-Nya?
Air mataku jatuh di atas kertas yang sedari tadi kugunakan untuk
menuliskan apa yang ingin kusampaikan kepada ibuku di atas sana. Sebuah
tulisan yang berisi luapan penyesalan.
//
Surga yang Hilang
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
Surgaku hilang
Saat aku masih saja berada di depan pintunya
Tanpa pernah kuketuk dan mencoba memasukinya
Saat aku masih saja berada di depan pintunya
Tanpa pernah kuketuk dan mencoba memasukinya
Surgaku yang hilang
Bersama bidadari yang kuabaikan
Hingga sesal tertuliskan
Di kokohnya batu nisan
Bersama bidadari yang kuabaikan
Hingga sesal tertuliskan
Di kokohnya batu nisan
Surgaku yang hilang
Akankah aku dapat menemukannya?
Dengan satu sayap yang tersisa?
Akankah aku dapat menemukannya?
Dengan satu sayap yang tersisa?
//
GubukAksara, 15
0 komentar:
Post a Comment