Surga yang Hilang

Dhedi R Ghazali | Wednesday, August 26, 2015 | 0 komentar




Di balik jendela aku menatap hujan yang tak kunjung reda. Meratap, bersama sebelah sayap yang patah yang sejatinya ingin kugunakan untuk terbang menuju surga-Nya. Tepat di depan jendela dari tempatku duduk, terbentang jalan utama kota ini. Nuansa malam yang begitu indah, lampu kendaraan yang berkilauan sebab jatuhnya jutaan rintik air yang menerpanya. Malam ini, setahun sudah surgaku menghilang dan tak akan kembali pulang. Surga yang selama ini kusiakan dan bahkan tak kusadari keberadaanya yang begitu dekat.


//
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
//

Aku adalah termasuk salah satu pengusaha muda yang sukses. Menjadi manajer sebuah perusahaan asing di umur yang baru menginjak angka duapuluh tujuh tahun tentunya sudah mampu menjadi tolok ukur kesuksesannku. Sebagai seorang muslim, tentu limpahan rizki dari-Nya membuatku lebih mudah untuk melaksanakan kewajiban bersedekah. Setiap bulan kusisihkan lima persen penghasilan untuk kemaslahatan umat. Bersedekah adalah sebuah keharusan, karena bagiku itu adalah salah satu cara yang tepat untuk mensyukuri nikmat yang kudapatkan sekaligus untuk ‘membeli’ surga-Nya. Dua kali sudah ibadah haji kulaksanakan, dengan pekerjaan dan penghasilan yang sekarang ini, bahkan untuk berhaji setiap satu tahun sekalipun bukanlah hal yang mustahil.

Saat ini aku tinggal di kota Jakarta. Sebuah kota yang penuh dengan kemegahan sekaligus juga penuh godaan. Di kota inilah semua cerita bermula. Tepat lima tahun yang lalu, berbekal dengan ijazah S1, kucoba mengadu nasib di kota metropolitan ini. Awalnya ibuku tak mengizinkannya, sebab ayahku telah meninggal sejak aku masih kecil. Jika aku pergi merantau ke Jakarta, maka ibu hanya tinggal dengan dua adikku yang masih duduk di bangku SMA. Tapi, tekadku sudahlah bulat, aku ingin menjadi orang yang sukses dan mengangkat derajat ibu dan adik-adikku. Ternyata Allah mendengar segala doa yang kupanjatkan setiap sepertiga malam selepas salat tahajud. Di kota inilah rizki yang telah dpersiapkan-Nya diturunkan. Tidak butuh waktu lama, hanya dalam jangka 3 tahun aku sudah mampu menjadi manajer di sebuah perusahaan asing ternama. 

Setiap bulan, aku rutin mengirimkan uang ke kampung halaman untuk kebutuhan ibu dan kedua adikku. Kesibukan bekerja membuatku tidak bisa pulang ke kampung halaman selama lima tahun terakhir. Hanya lewat telepon aku bisa berkomunikasi dan bertukar kabar dengan ibuku. 

****

Malam itu, aku sedang ada ‘meeting’ dengan salah satu ‘klien’. Sebuah tander yang besar sedang coba kuraih. Jika bisa kumenangkan tander ini, bonus ratusan juta bahkan miliaran rupiah bisa didapatkan. Di tengah-tengah ‘meeting’, telepon genggamku berdering. Kulihat ternyata ada pesan masuk dari ibu.

“Nak, jangan lupa salat!”

Setelah kubaca, kembali kuletakkan telepon genggamku di meja tanpa kubalas pesan ibu. Aku tak ingin ‘klienku’ terganggu sebab kutinggal untuk membalas pesan dari ibu. 

Tak lama kemudian, kembali telepon genggamku berdering. Kali ini sebuah panggilan masuk. Kulihat layar telepon genggam, ternyata ibu yang menghubungi. Kutolak panggilan itu. Tak selang beberapa lama kemudian, lagi-lagi telepon gengamku berdering, dan masih juga panggilan dari ibu. Kulihat ‘klienku’ mulai tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Benar saja, beberapa saat kemudian, ‘klien’ tersebut mengingatkan, “Maaf, Pak, ini tander besar, bukan main-main. Saya harap Bapak mematikan telepon gengamnya dulu agar ‘meeting’ ini bisa berjalan dengan lancar!” 

“Iya, Pak. Maaf atas ketidaknyamanan ini.”

Langsung saja kumatikan telepon genggamku. Pikiran dan hati mulai bergejolak, rasa kesal menyelimuti. Kesal terhadap ibu sendiri yang menggangu pekerjaanku hari ini.
‘Meeting’ akhirnya telah selesai. Sebuah keputusan pahit harus diterima, ternyata aku tak bisa memenangkan tander. Kekecewaan yang sangat besar kurasakan. 

“Ini gara-gara Ibu!!!”

Hatiku kian berkecamuk. Dengan langkah yang malas kutinggalkan tempat ‘meeting’. Selepas keluar dari tempat meeting tersebut, kuambil telepon genggamku lalu kunyalakan. Lekas kuhubungi ibu, “Assalamualikum, Nak”

“Waalaikumsalam, tadi kenapa Ibu menghubungi?”

“Ibu kangen, Nak!”

“Tahu tidak!!! Gara-gara Ibu menghubungi tadi, semua pekerjaanku jadi kacau balau. Lain kali jangan menghubungi lagi kalau aku tidak menghubungi Ibu terlebih dahulu!” Bentakku dengan nada yang keras sekligus langsung kututup telepon.

Kekesalan masih menyelimuti pikiran. Setelah peristiwa itu, Ibu tak pernah menghubungi lagi. Sesekali rasa bersalah menghinggapi sebab aku telah membentak ibu kandungku sendiri. Tapi saat itu, memang dia yang salah sehingga aku tak bisa memenangkan tander miliaran rupiah. Jika saja bisa memenangkan tander tersebut, aku bisa mewujudkan salah satu cita-cita yaitu mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Dengan begitu, aku akan mampu menambah amalan dan bekal untuk meraih surga-Nya. Sebagai seorang muslim, tentu menambah amalan dan bekal untuk menuju akhirat adalah menjadi prioritas utama dalam menjalani kehidupan ini.

***

Sebulan sudah berlalu sejak peristiwa itu. Aku masih saja menyesal karena tidak bisa memenangkan tander. Di sepertiga malam, kulaksanakan salat tahajud dilanjutkan dengan memohon kepada-Nya agar diberi kesempatan lagi untuk bisa mendapatkan tander yang serupa. Selama ini aku rutin melaksanakan saat tahajud dan salat duha. Sebuah ibadah yang sejak masih sekolah selalu kulakukan.
Pagi ini aku bersiap untuk menuju kantor. Pikiran terasa tidak fokus, entah apa yang membutanya terasa melayang, yang jelas aku benar-benar merasa hampa.
Tiba-tiba saja telepon genggamku berdering. Ternyata panggilan masuk dari adik pertamaku bernama Zahra.
“Assalamualikum, Mas.”
“Waaliakumsallam, ada apa, Ra? Tumben pagi-pagi gini hubungi, Mas?”
“Ibu sakit, Mas. Dia minta kamu buat pulang ke kampung!”
“Aku sedang sibuk, Ra. Bawa aja ibu ke rumah sakit. Nanti Mas kirimkan uang untuk biayanya.”
“Tapi, Mas ….”
“Sudah, tak perlu tapi tapi. Mas mau berangkat kerja dulu. Assalamualikum!”
Aku bergegas menuju kantor, hari ini adalah hari Jum’at. Seperti biasanya, di hari seperti ini sebelum kegiatan kantor dimulai, semua karyawan berkumpul untuk mengikuti pengajian. Hal ini tentu sangat penting demi menjaga akhlak sekaligus kejujuran serta sebagai motivasi kepada para karyawan agar dapat bekerja dengan ikhlas dan jujur.
Sesampainya di kantor, terlihat sudah banyak karyawan yang berkumpul. Pengajian pun sudah akan dimulai. Ada yang berbeda dari pengajian hari ini, terlihat laki-laki setengah baya menggendong seorang nenek-nenek. Dia berjalan menuju ke dalam Masjid. Ternyata dia adalah Ustadz yang akan mengisi pengajian hari ini. Lalu siapa nenek-nenek yang digendongnya itu? Kenapa untuk mengisi pengajian dia repot-repot menggendong seorang nenek-nenek? Ah, sudahlah. Lebih baik aku masuk ke dalam saja, siapa tahu nanti Ustadz tersebut mengenalkan diri sekaligus mengenalkan siapa nenek-nenek di gendongannya itu.
Pengajian pun dimulai. Ustadz tersebut mulai ceramahnya. Betapa kagetnya seisi ruangan ketika Beliau memperkenalkan siapa yang bersamanya dan digendong olehnya tadi. Ternyata nenek-nenek itu adalah ibu kandungnya.
“Ini adalah ibu saya. Setiap mengisi pengajian di manapun, saya selalu membawa serta Beliau. Sudah tiga tahun terakhir Beliau menderita stroke, sebab itulah saya harus menggendongnya.”
Semua karyawan di dalam Masjid terdiam dan hanyut dalam nuansa yang entah. Termasuk aku, entah kenapa tiba-tiba saja hati ini berkecamuk dan bergetar begitu kencangnya.
Ustadz tersebut mulai menuju materi yang ingin disampaikannya. Sebuah materi yang penuh dengan makna. Sebuah materi yang menyadarkan bahwa aku telah membuat kesalahan yang sangat fatal.

//

Akar yang Tak Pernah Menyalahkan Tanah Gersang

Akar adalah sebuah komponen penting dalam tumbuhan. Dialah yang senantiasa mencari makan agar tumbuhan tersebut dapat subur dan menghasilkan buah-buah yang bagus. Meskipun di kemarau panjang sekalipun, dan tanah-tanah mulai gersang, akar tidak akan berhenti berusaha untuk mencari makan agar pohon berbuah. Dia tidak pernah menyalahkan kemarau, pun juga tidak pernah berkeluh-kesah dan menyudutkan tanah yang gersang. Baginya, mau musim hujan, musim kemarau, tanah subur ataupun tanah gersang, dia akan harus senantiasa menjadi penopang agar buah-buah dapat tumbuh di pohon.

Akar itu adalah Ibu kita, buah di pohon adalah kita dan tanah gersang adalah kerasnya kehidupan. Sekeras apapun kehidupan, seorang Ibu akan senatiasa berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang sukses! Sukses dunia akhirat tentunya. Yang perlu kita ketahui, meskipun akar tak pernah terlihat tapi dia tetap akan selalu memberikan yang terbaik agar pohon-pohon berbuah. Itulah keikhlasan seorang Ibu, dia tak akan menampakkan apa yang telah dilakukan untuk anaknya dan tak akan mengharap imbalan. Dari kecil sampai kita dewasa, Ibulah yang berperan penting dalam kesuksesan yang kita raih saat ini.
Bahkan kita sering mendengar, bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Itulah sebabnya, kenapa saya selalu membawa serta Ibu saya dalam setiap mengisi pengajian. Saya tidak ingin sedetik waktupun jauh dari surga. Meskipun harus dengan menggendong Beliau, tapi ituah bentuk kasih sayang dan rasa hormat sekaligus cara saya untuk meraih surga yang sejatinya selalu ada di dekat kita. 

Saat ini,banyak anak yang acapkali melupakan Ibunya. Dengan kesuksesan yang didapat, seolah semua dapat dimiliki. Sedekah, salat, bahkan baca Al-Qur’an rutin demi untuk meraih surga, tapi mereka lupa bahwa ada surga di dekatnya!!! Bahwa ada surga yang selama ini senantiasa menunggu untuk dijamah, surga itu adalah Ibu kita!!!

//

Tiba-tiba saja bulir-bulir di mata mulai berjatuhan. Diri ini mendapat tamparan yang sangat keras dari apa yang disampaikan oleh Ustadz tersebut. Aku teringat saat membentak Ibu di dalam telepon, saat kusalahkan Ibu karena menelponku waktu ‘meeting’. Memang benar aku tak pernah lupa mengirim uang untuk Beliau, tapi tak pernah sekalipun aku berkunjung untuk sekadar meminta maaf di Hari Raya ataupun untuk sekadar mencium tangan yang selama ini menggendong dan membelai tubuh mungilku dulu. Aku benar-benar larut dalam renungan yang dalam. Air mata tak hentinya membasahi pipi. Tekadku kini sudah bulat, setelah pengajian ini aku akan mengajukan cuti untuk kembali ke kampung halaman, untuk bersimpuh di hadapan surga yang selama ini kuabaikan. 

Sore itu, selepas pulang kerja, aku bergegas pulang ke kampung halaman. Di sepanjang jalan, air mata ini masih saja mengalir tiada henti teringat akan kedurhakaan yang telah diperbuat. Aku merasa menjadi orang yang paling hina, segala ibadah yang kulakukan, naik haji, sedekah, salat tahajud, salat duha dan juga ibadah wajib terasa sia-sia dan percuma sebab aku telah mendurhakai ibuku seniri. Aku sibuk mencari jalan untuk menuju surga, sedangkan surga itu selama ini ada di depan pelupuk mata. Begitu larutnya dalam penyesalan, sampai-sampai tak sadar bahwa berkali-kali telepon genggamku berdering. Kuambil teepon genggam, terlihat sepuluh kali panggilan tak terjawab dari adikku. Lalu kuletakkan kembali telepon genggam tersebut, karena rasanya tak perlu kutelpon balik sebab sebentar lagi aku juga sudah sampai di rumah.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya laju mobilku berhenti di depan rumah yang selama ini menjadi tempat bernaungku bersama ibu dan kedua adikku. Terlihat ada yang berbeda, meski sudah jam sepuluh malam, tapi terlihat banyak orang berkerumun di depan rumah. 

Aku lantas turun dari mobil, terlihat beberapa sanak saudara menghampiri dan menggandeng tanganku sambil berkata “Sabar, ya, Za. Ini sudah menjadi takdir Allah.”

Aku semakin bingung dengan perkataan saudaraku tersebut. Sesampainya di depan pintu rumah, terihat kedua adikku bersimpuh serambi menangis sekencang-kencangnya. Di depan mereka terlihat tubuh yang sudah terbungkus kain kaffan. Kakiku melemah, dadaku berdebar hebat, air mataku tumpah. Kulihat wajah Ibuku, mata dan hidungnya tertutup kapas. Tubunya kaku!!!

“Ibu ….!!!”

Kedua kakiku kini benar-benar tak lagi mampu menopang tubuh. Tubuh ini tersungkur tepat di depan jenazah ibu. Air mataku pecah membelah keheningan di dalam dada. Kupanggil-panggil ibuku berulangkali sembari kugoyang-goyangkan tubuhnya yang sudah kaku.

“Bangun, Bu!!! Bangun!!! Ini aku, anakmu. Anakmu sudah pulang, Bu. Bukankah Ibu kangen dengan aku? Bukankah kemarin Ibu ingin aku untuk pulang? Bangun, Bu! Bangun!!!”

Tak henti-hentinya kugoyangkan tububuh ibu, sesekali kuciumi wajanya yang layu. Kedua adikku menghampiri dan memeluk tubuhku erat-erat,
“Sabar, Mas.” Dengan sesenggukan mereka mencoba menegarkanku.

Tapi apa daya, yang ada justru kami bertiga bersimpuh di depan jenazah Ibu, tangis kami semakin menjadi. Aku benar-benar terpukul. Merasa benar-benar menjadi anak yang durhaka, tidak bisa mendampingi Bidadari yang melahirkan dan mendidikku di saat-saat terakhirnya. Bahkan justru sempat kusalahkan dia dan membentaknya dengan kata-kata yang tidak seharusnya dia dapatkan dari anak kandungnya sendiri.

Beberapa bulan terakhir ini ternyata Ibu mengidap sakit kanker. Dia tidak pernah bercerita kepadaku karena tak ingin menggangu pekerjaanku. Waktu dia menelpon dan berkata kangen denganku, dan ingin anaknya pulang ke kampung, saat itu pula dia telah merasa bahwa waktunya hidup di dunia sudah mulai habis. Dia ingin menghabiskan waktu itu denganku, anaknya yang sejak lima tahun terakhir tidak pernah ada di sampingnya. Selama itu pula dia tidak pernah protes sama sekali. Bahkan, setiap uang yang kukirimkan selalu dia sisihkan sebagian. Untuk apa? Untuk membantu menggapai cita-citaku yaitu mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Ya, begitu besar kasih-sayangnya selama ini, meski lima tahun anaknya tak pernah menemuinya, dia masih saja berusaha untuk membantu anaknya menggapai cita-cita. Selayak akar yang terus berjuang di tanah yang gersang agar buah tetap tumbuh di pohonnya.

***

Hujan di luar sana masih saja belum reda. Aku masih menatap ke luar jendela. Kali ini, hujan tak hanya turun di luar jendela, tapi juga di dalam jendela tepatnya di mataku sendiri. Sebuah penyesalan terdalam membuat air mata ini tak tertahankan. Aku kehilangan surgaku sesaat setelah aku baru saja menyadari bahwa surga itu tepat berada di depanku, surga itu adalah Ibu. Kini, surga itu benar-benar telah hilang. Selama ini aku berjalan bermil-mil jauhnya untuk mencari surga itu, namun justru ternyata aku mengabaikan surga yang sudah jelas ada di depan mata. Ya, sebelah sayapku telah patah. Masih bisakah aku terbang dengan hanya sebelah sayap untuk menemui surgaku yang telah berada di dalam surga-Nya?

Air mataku jatuh di atas kertas yang sedari tadi kugunakan untuk menuliskan apa yang ingin kusampaikan kepada ibuku di atas sana. Sebuah tulisan yang berisi luapan penyesalan.

//
Surga yang Hilang
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
Surgaku hilang
Saat aku masih saja berada di depan pintunya
Tanpa pernah kuketuk dan mencoba memasukinya
Surgaku yang hilang
Bersama bidadari yang kuabaikan
Hingga sesal tertuliskan
Di kokohnya batu nisan
Surgaku yang hilang
Akankah aku dapat menemukannya?
Dengan satu sayap yang tersisa?
//


GubukAksara, 15
Kehidupan Tanpa Batas
 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger