Baca Puisi Sajak untuk Indonesia

Dhedi R Ghazali | Monday, October 30, 2017 | 0 komentar
Kehidupan Tanpa Batas

Cara Membaca Puisi yang Unik

Dhedi R Ghazali | Sunday, October 29, 2017 | 0 komentar

Kali ini saya akan mencoba membaca sebuah puisi karya saya sendiri. Semoga menghibur...




Kehidupan Tanpa Batas

Rahim Kata Dari Dalam Penjara

Dhedi R Ghazali | Sunday, October 29, 2017 | 0 komentar

Sumber Gambar: detik.com
Kali ini bukan puisi yang ingin kutuliskan. Hanya sebatas omong-melompong, barangkali--mungkin saja bisa menjadi pasti--seperti gonggongan tanpa anjing atau selayak desir angin menyibak daun-daun yang sedang berfotosintesis. Ya, tulisan ini akan mengganggu siapa saja pembacanya. Maka dari itu, mantapkan niat untuk membacanya terlebih dahulu agar tidak kecewa. Helai napas panjang... bismillah...

Terkadang, rasa bosan untuk berpuisi datang begitu saja. Boleh dibilang seperti rasa kantuk yang mungkin saja akan segera dan tiba-tiba datang bahkan sebelum kuselesaikan tulisan ini. Semoga saja tidak. Aamiin

Malam ini, lebih tepatnya dini hari ini, ada sesuatu mengusik kepalaku. Apa itu? Aku sendiri tak tahu. Tapi yakin akan keberadaannya. Inilah sebuah pertanyaan tak terjawab. Bukankah kadang pertanyaan tak bisa kita jawab?

Kalian tahu, bahwa saat ini aku sedang duduk dalam renung ditemani dinding yang dingin dan jeruji-jeruji yang menatap sinis penuh kebencian. Ada banyak mata terlelap di sana. Jiwa-jiwa tersingkir dari tengah kehidupan masyarakat dan keluarganya. Sebuah kesalahan--bisa jadi lebih--membuat jiwa-jiwa itu harus terkurung. Bagiku, tempat ini adalah tempat pengabdian, namun bagi mereka tempat ini adalah tempat pengasingan. Ya pengasingan.

Bagaimana rasanya diasingkan? Dijauhkan dari hiruk-pikuk kehidupan yang semakin menyesatkan? Dalam pengasingan ada renungan. Dalam renungan terdapat kekuatan magis yang bisa membuat seseorang menjadi seratus bahkan seribu kali lipat lebih baik dari sebelumnya.

Ah! Dinding dan jeruji itu masih saja sekongkol untuk mengintimidasi pikiran dan hatiku. Keduanya berhasil membuat manusia ini keliyengan. Tapi tak apa. Mari kulanjutkan ceritaku.

Di tempat pengasingan ini lahir banyak peristiwa yang tak kalah memilukan dari kisah sinetron pertelevisian, tak kalah menakutkan dari film Counjuring, dan tak kalah menegangkan dari ending sebuah film percintaan yang diharapkan happy ending. Tempat ini adalah tempat terindah bagi malaikat-malaikat yang saban malam mencari tangis para hamba atas segala dosa-dosanya. Kalian tahu apa nama tempat ini?

Kusebut ia PENJARA. Ya, ini adalah penajara. Sebuah tempat yang dikait-kaitkan dengan kekerasan, narkoba, suap-menyuap dan juga tempat para pendosa mendekam. Bulsyitlah! Kau, aku dan semua manusia adalah pendosa. Adakah manusia yang hidupnya tanpa dosa? Jadi berhentilah mengatai orang lain sebagai pendosa. Sebab kita juga pendosa.

Hufh... setan di kepalaku mulai tersenyum atas kegilaanku malam ini. Baiklah. Biarkan mereka tersenyum dulu. Nanti akan kucambuk juga dengan cemeti amalirosuli yang terkenal di film Mak Lampir itu. Pernah membayangkan kehidupan di penjara?

Di penjara ini ada banyak waktu untuk merenungkan kehidupan. Di penjara adalah waktu pas untuk merefresh pikiran dari kebejatan kehidupan di luar sana. Itulah salah satu jawaban yang kutemukan dari salah satu manusia yang sering disebut sebagai sampah masyarakat. Demi Allah, tak semua yang masuk di tempat ini adalah sampah masyarakat. Bahkan bisa jadi mereka jauh dan sangat jauh lebih baik dari seonggok sampah. Di sini, sebagian besar dari mereka salat wajib lima waktu dengan berjamaah. Subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya. Mari kita tanya pada diri kita, sudah genapkah salat wajib kita? Sudahkah kelimanya kita lakukan dengan berjamaah? Plakkk!!! Bahkan aku harus menampar pipiku sendiri karena kekalahan telakku atas mereka yang dicap sebagai sampah masyarakat. Di penjara ini, tak sedikit yang bangun di tengah malam untuk salat tahajud dan membaca Al-Quran. Setiap malam pasti ada. Adakah dari kita yang sering melakukan hal yang sama? Aku yakin ada, namun sedikit jumlahnya.

Ah! Setan di kepalaku mulai merah wajahnya. Nampaknya mereka mulai marah padaku. Apa peduliku? Marah saja! Hahahaha!

Ada tangis penyesalan, ada pula tangis haru saat bertemu keluarga yang tak lagi bisa setiap hari bertemu. Tangis seorang ibu yang menjenguk anaknya yang tersangkut kasus penusukan "selangkangan". Ada pula tangis seorang istri yang suaminya adalah penjudi. Tangis seorang anak yang tahu bapaknya adalah pencuri. Ada rasa haru, malu, marah yang bercampur dan membuat lukisan abstrak di wajah berkerut. Bahkan sampai aku tak bisa mengerti apa arti luksian itu. Di sini banyak kulit yang berubah fungsi menjadi tempat menuangkan seni. Dan... ada cinta dari Illahi yang tak bisa dilogika oleh otak seorang Profesor sekalipun.

Suatu ketika, kutanya salah satu dari penghuni tempat ini. "Kau sedih atau senang masuk sini?" Mari kutuliskan jawabannya, "Aku senang masuk sini. Sebab di sini Allah sangat mencintaiku. Dia mengirimku ke tempat indah ini agar bisa lebih dekat dengan-Nya. Agar tak semakin terjerumus dalam dosa-dosa. Agar, tak lagi membebani orang tua dengan segala tinglah-laku yang membuat mereka dikucilkan di tengah masyarakat. Betapa Allah sangat mencintaiku, bukan? Jika Dia tak mencintaiku, Dia akan membiarkanku bergelimpangan dosa di luar sana. Demi Allah di dalam sini kutemukan keajaiban. Tak pernah salat kutegakkan sebelumnya, tak jua bisa membaca serentetan huruf arab. Tapi, di sini aku belajar dan bisa melakukannya."

Sekali lagi pada akhirnya aku tertampar oleh kata-kata orang yang umurnya jauh lebih mud. Ya, dia baru berumur 20 tahun. Dan diumurnya itu, banyak tersimpan repihan masa-lalu yang diubahnya menjadi tiang-tiang perubahan. Tiang-tiang yang akan menajadi penopang hidupnya kelak setelah keluar dan menghirup udara bebas.

Apa kabar setan di kepalaku? Ah, mereka mulai sekarat nampaknya. Maafkan aku, sebab kali ini dan aku harap bisa seterusnya, kepalaku ini tak lagi bisa kalian jadikan tempat berpesta.

Kurasa akan sangat banyak jika kutuliskan semua yang ada di dalam penjara ini. Lain kali, akan kuceritakan yang lebih seru lagi.

Tulisan ini hanyalah awal sebuah mimpiku untuk membuat buku berjudul "Rahim Kata Dari Dalam Penjara". Semoga bisa lekas terealisasikan.

Salam santunnku.

Tulisan di atas saya ambil dari tulisan saya sendiri di Fanspage Blog ini: https://www.facebook.com/kehidupantanpabatas/posts/763820517091252


Kehidupan Tanpa Batas

Cerpen Dhedi R Ghazali: Cerita dari Langit

Dhedi R Ghazali | Thursday, October 26, 2017 | 0 komentar
Gambar: kabarislam.com

Malam yang hujan. Ya. Hujan sedang menghukum para pengumbar nafsu di luar sana. Tak ada dua sejoli saling melingkarkan tangan di bahu. Ah, lihatlah tangan lelaki belangsak itu, yang mulai merayap seperti pemerah susu sapi. Atau mungkin memang dia seorang pemerah susu? Tangannya begitu piawai. Sayangnya malam ini dia tak kelihatan. Hujan benar-benar menghukumnya. Barangkali jemari-jemarinya sedang merasakan gatal yang teramat saat ini. Sudah, mari tinggalkan lelaki pemerah susu itu. Sekarang alihkan pandangan ke balik semak-semak di seberang jalan. Ada dua ekor anjing sedang berhubungan intim. Kalian lihat, kan? Semak-semak itu memberontak, seakan mau bicara, “Dasar anjing! Pergi kalian! Aku tak sudi menjadi sarana dosa terindah kalian berdua. Kusumpahi kalian mati besuk pagi!”

***

Pagi ini seperti biasa. Setelah melakukan pertemuan dengan Tuhan, dan berlanjut ke tugas sebagai seorang anak, tepat pukul enam pagi kuseduh secangkir kopi. Tak selang lama, seorang loper koran—seseorang yang begitu berjasa bagi pagi-pagiku—melemparkan jendela dunia yang tepat mendarat di mukaku, “Maafkan aku kawan. Aku salah sasaran. Seharusnya bidikanku adalah burung mungil di balik kibaran sarungmu itu.” Dia tertawa terbahak dan kembali mengayuh sepedanya.

Ya. Begitulah keseharianku dengan loper koran saat menyambut pagi. Semacam ucapan selamat datang kepada matahari. Loper koran itu adalah salah satu penggemar Joko Pinurbo yang tergila-gila dengan sarung, bantal, ranjang bahkan sampai ke celana dalam. Jadi jangan kaget jika terkadang otaknya tersumpal kutang. Hahaha... aku tidak sedang menghinanya. Inilah bentuk apresiasi seseorang kepada sahabatnya. Aku yakin, dia akan tersenyum membaca apa yang baru saja kutuliskan.

“Dua Ekor Anjing Mati di Semak-Semak”. Judul berita yang menjadi headline itu sontak membuat mataku keluar dari sarangnya. Bukankah baru semalam kulihat dua ekor anjing di tempat yang sama sedang berbuat dosa terindah? Aku bahkan masih ingat warna kulitnya yang putih kecoklatan. Juga suara desahan itu, benar-benar masih menggerayangi kedua telinga. Sampai-sampai terbawa mimpi, dan esok harinya harus kurelakan tubuhku diguyur air yang begitu dingin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ya. Aku menjadi saksi sekaligus penikmat dari perbuatan kedua anjing yang mati disemak-semak seberang jalan. Dan dengan begitu, aku pun juga sedang mengaliri nafsuku dengan asupan secangkir nanah kecoklat-coklatan. Dosakah? Tentu. Bahkan matak sejatinya ingin dibutakan setelah melihat peristiwa malam itu. Sepadankah mata menuntut buta hanya karena melihat sesuatu yang menyenangkan? Sebuah pertanyaan konyol yang terus saja menghunjam otakku yang mulai dijejali air liur setan.

***

Dadaku masih bergetar hebat. Secangkir kopi panas kusambar cepat. Tak terasa panasnya di bibirku yang beku. Sebatang rokok kuhisap dalam-dalam, kepulan asap keluar dari kedua lubang hidung dan berlanjut lewat mulut yang sedari tadi merasakan kecut. Lembar demi lembar koran terjatuh di lantai. Meski aku adalah penggemar koran, tapi bukan berarti menjadi pembaca yang baik. Tidak semua berita di dalamnya kubaca. Hanya beberapa saja yang memang sekiranya menumbuhkan rasa penasaran. “Ditemukan Mayat di Dalam Got”. Ah, entah apa yang ada di kepala ini sehingga sangat tertarik dengan hal-hal berbau kematian. Okelah. Sekali lagi berita tentang kematian berhasil memantik rasa penasaranku.

Mayat tanpa identitas ditemukan di sebuah got tengah kota. Ciri-cirinya: terakhir memakai kaos oblong warna putih kumal, umur diperkirakan enampuluh tahun dan membawa foto seorang anak lelaki. Di belakang foto itu ada sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa itu adalah foto anaknya. Ya, Tuhan. Ciri-ciri mayat itu sama persis dengan seorang kakek yang kutemui beberapa hari lalu. Seorang kakek yang mencari anak semata wayagnya yang sejak beberapa tahun terakhir tidak memberi kabar.

Berita itu pada akhirnya mengingatkanku kepada Pak Tarjo. Beberapa hari lalu aku tidak sengaja bertemu dengannya di taman tengah kota. Umurnya enampuluhan, baju yang dipakai juga kaos oblong warna putih, bahkan dia juga sedang mencari anaknya yang tidak pernah pulang semenjak beberapa tahun terakhir. Apakah ini sebuah kebetulan saja? Atau memang mayat itu adalah mayat Pak Tarjo? Otakku dipenuhi benang-benang merah yang saling berhubungan mesti terlihat semrawutan. Tiba-tiba aku merasa menjadi seorang detektif yang sedang menangani kasus pembunuhan besar. Dari berita itu sama sekali tidak ditemukan identitas diri. Tak ada dompet ataupun barang berharga lainnya. Polisi pun mencurigai mayat itu adalah korban pencurian dengan kekerasan yang berujung kepada kematian. Tapi anehnya tidak ditemui luka tikaman benda tajam. Hanya ada sedikit lebam di muka.

Hari ini benar-benar terasa seperti mimpi saja. Semua serba kebetulan. Mulai dari dua ekor anjing mati di semak-semak sampai ditemukannya mayat di got. Kepala ini mulai terasa pusing. Rasa kantuk tiba-tiba saja menyerang dengan hebatnya. Aku putuskan untuk masuk ke kamar. Sekadar ingin merebahkan tubuh yang lelah. Kebetulan hari ini hari minggu. Jadi tak ada jadwal kerja.

***

Malam itu hawa dingin mendekap kota. Kulintasi jalan dengan sepeda motor. Jalanan yang sepi sebab sudah larut malam. Meskipun demikian, sesampainya di sebuah jalan yang dikenal sebagai jalan pelacur, banyak paha-paha berkeliaran. Wanita-wanita dengan belahan dada yang menyembul keluar, dan banci-banci yang menjulurkan lidahnya seperti mengisyaratkan untuk mengajak melakukan sesuatu. Sesuatu yang kuyakin banyak lelaki yang sudah paham apa maksudnya. Ah, bumi ini memang wanita jalang seperti kata Subagio dalam puisinya. Pemabuk wara-wiri sambil sesekali merayu pelacur. Sebuah pemandangan yang mudah ditemui di jalanan ini. Pelacur tak mau kalah, dia tak rela tubuhnya dipegang-pegang tanpa diberi uang. Lagi-lagi uang menjadi raja. Tak sedikit pula gerombolan remaja yang asyik memadu kasih dengan pasangannya. Nongkrong di atas motor, sedang seorang wanita di belakangnya memeluk sambil menciumi leher kekasihnya, tangannya menyelinap di balik kibaran celana jeans itu. Gila! Aku hanya bisa menelan ludah. Ada keinginan berhenti sejenak untuk setidaknya melihat tontonan gratis itu. Tapi kubuang jauh pikiran itu. Ujungnya nanti hanya membuatku harus mandi lagi pagi-pagi buta setelah memimpikan sesuatu yang menggetarkan sekujur badan.

Beberapa meter di depan, kulihat Pak Tarjo sedang bercengkerama dengan seorang remaja. Bukan cengkerama yang hangat nampaknya. Terlihat seperi cek-cok seroang anak yang sedang meminta uang kepada ayahnya. Apakah remaja itu adalah anak Pak Tarjo yang sedang dia cari? Jika memang benar, maka aku tidak akan segan menyebut dia seorang anak tak tahu diri, atau bahkan aku akan katai dia dengan sebutan bajingan! Tapi tunggu sebentar. Bukankah aku juga pernah merengek meminta uang kepada bapakku untuk membeli motor? Bahkan sampai membentak beliau. Kalau begitu, aku ini juga tak lebih baik dari remaja yang kusebut bajingan tadi. Hahahah... seorang bajingan yang mengatai orang lain dengan kata bajingan. Ya, Tuhan. Sungguh kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain sudah menggerogoti jiwaku ini.

Malam semakin dingin. Kulaju motor dengan kecepatan di atas 80km/jam. Rasanya ingin segera sampai rumah. Ingin lekas bertemu dengan bapakku dan meminta maaf atas kesalahan anaknya ini. Kesalahan yang pastinya sangat banyak.

Di sebuah pertigaan tiba-tiba sebuah mobil memotong jalan, dan..., “Braaakk!!!”.
Semua jadi gelap seketika. Di dalam kegelapan itu datang seseorang berjubah yang mendatangiku.

“Mari kuajak melihat sesuatu, Nak.”

Ya, Tuhan. Siapa orang ini. Dia mengajakku terbang. Ya! Terbang!

“Apakah aku sudah mati? Mau kau ajak kemana aku?”

Orang itu hanya tersenyum. Tak selang beberapa lama, entah bagaimana bisa, aku sudah berada di tempat Pak Tarjo yang sedang cek-cok dengan anaknya. Dari atas sini bisa kulihat dengan jelas percek-cokan anak dengan ayah itu. Terlihat keduanya saling berselisih dengan sesekali mengeluarkan kata-kata yang tajam. Pak Tarjo dengan wajah keriputnya sesekali mengusap airmata yang terjatuh di matanya yang sudah remang-remang. Menit-menit berikutnya menjadi menit-menit yang menegangkan sekaligus menguras kemarahan di dalam diri. Menyulut gelora emosi hingga membakar seisi hati. Anak itu mulai melakukan hal yang di luar batas. Dia mengambil paksa dompet di dalam saku ayahnya yang sudah renta. Pak Tarjo menolak. Dengan sisa-sisa tenaganya yang tentu jelas kalah dengan seorang pemuda dia mencoba meronta. Bukannya semakin iba, justru anaknya semakin belangsak. Dia pukul Pak Tarjo berulang kali. Hingga akhirnya terjatuh di sebuah got. Setelag itu, dia mengambil dompet, juga jam tangan yang dipakai Pak Tarjo. Sebuah foto tak lepas dari penglihatannya yang seperti macan kelaparan atau lebih tepatnya seperti anjing gila. Diremas foto itu dan dibuang begitu saja di samping tubuh renta yang sudah tak berdaya. Anak itu pergi meninggalkan ayahnya yang sekarat. Pak Tarjo mengambil foto itu dan digenggam erat sampai akhrinya napasnya terhenti.

Mataku terbelalak melihat kejadian itu. Jadi mayat di got dalam berita yang kubaca tadi adalah memang mayat Pak Tarjo? Pertanyaan itu menyentak, menyeruak di kepala.

“Ya. Kau benar, Nak. Mayat itu adalah Pak Tarjo. Seorang bapak yang mencari anaknya, dan setelah bertemu, justru anaknya pulalah yang mengantarkannya kepada kematian. Mari kita ikuti anak itu.” Orang berjubah putih lalu menggandengku. Mengajakku mengikuti anak belangsak yang baru saja membunuh ayah kandungnya.

Pikiranku masih berkecamuk. Dalam suasana yang membuat hati teriris, ada sesuatu yang lagi-lagi membuat bertanya-tanya. Bagaimana mungkin orang berjubah putih itu bisa tahu apa yang ada di dalam kepala ini? Apakah dia bisa membaca pikiran. Pertanyaan demi pertanyaan yang gaib silih berganti menghunjam.

“Sudah, Nak. Jangan dipikirkan. Semua sudah terjadi. Mari kita lihat cerita selanjutnya. Apa yang anak durhaka itu lakukan dengan uang hasil dari membunuh bapaknya.”

Di tepi jalan, anak Pak Tarjo menghampiri salah satu pelacur. Terjadilah negosisai. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, aku tahu pasti kalau uang itu akan digunakan untuk menyewa pelacur. Dasar anjing! Uang yang di dompet rampasannya tak seberapa rupanya. Hanya beberapa ratus ribu. Terjadi tawar-menawar yang alot. Sampai akhirnya, pelacur itu mau dibayar hanya dengan uang seratus ribu rupiah. Waw! Hanya dengan seratus ribu rupiah bisa mendapatkan tubuh! Tapi tak heran, bukankah bahkan banyak di luar sana yang bersedia memberikan tubuh kepada pacarnya hanya dengan dasar suka sama suka? Bahkan tak sedikit yang berujung kepada kehamilan dan mengugurkannya. Mereka berdua lalu berjalan ke semak-semak seberang jalan. Rasanya tak bisa menyewa kamar untuk melakukan hubungan badan. Akhirnya kedua anjing itu melakukannya di balik semak-semak dengan alas sarung. Gila! Kalian tahu apa yang terjadi? Setelah beberapa menit melakukan hubungan badan, keuda anjing itu kejang-kejang. Tak lama kemudian, malaikat maut mencabut nyawa keduanya tanpa belas kasihan. Ya, Gusti, jadi....

“Ya, kau betul, Nak. Kedua anjing yang mati di semak-semak itu adalah anak Pak Tarjo yang sedang berhubungan badan dengan seorang pelacur,” ucap orang berjubah putih sambil menepuk pundakku.

“Sudah cukup kuajak kau melihat cerita dari langit ini, Nak. Bersyukurlah karena kau menjadi salah satu orang terpilih yang diizinkan untuk melihat cerita ini. Pulanglah.”

***

“Ayolah bangun, Suf. Apa kau tak mau lagi kuantarkan koran di pagimu? Apa kau tak rindu denganku yang selalu mengahantam burung mungil di sangkarmu itu dengan gulungan koran?” Suara dari Indra menyelinap di telingaku.

“Jangan asal ngomong. Burungku gak mungil. Kau mau lihat?”

“Alhamdulillah Gusti. Matur nuwun sudah Kau kabulkan doa-doaku.” Indra memelukku. Airmatanya meleleh melihat aku yang sadarkan diri.

Sebuah pukulan ringan kudaratkan tepat di pusakanya, “Ternyata burungmu jauh lebih mungil dariku.”

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Tak ada rasa sakit yang kurasakan. Hanya kejadian yang baru saja kualami dengan seorang berjubah putih itu masih menancap kuat di kepala.

“Syukurlah, Suf. Sudah hampir dua hari kau tak sadarkan diri setelah kecelakan malam itu. Bapakmu terus-terusan menunggumu di sini sambil membacakan Al-Qur’an. Bersyukurlah mendapatkan ayah sehebat itu.”

***

“Begitulah garis besar novel saya. Sebuah novel yang terinspirasi dari perjalanan gaib yang menceritakan cerita dari langit. Sebuah cerita yang selalu tertanam dalam benak sampai detik ini. Sebuah cerita yang membuat saya menjadi sadar betapa besar kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Dan sebuah cerita tentang realita kehidupan kota di bumi yang seperti wanita jalang ini. Tentu juga cerita tentang burung mungil di balik kibaran sarung seorang loper koran...”

Tepuk tangan bergema di dalam gedung ini. Beberapa orang tertawa lepas. Kulihat Indra menutupi wajahnya yang mulai merah.

“Bukan semata karena novel berjudul “Cerita Dari Langit” yang akhirnya menjadi best seller ini yang menbuat saya merasa puas. Tapi lebih dari itu, lewat novel ini pula saya merasa menjadi orang yang beruntung karena terlahir dari seorang ayah yang luar biasa. Yang masih menyayangi bajingan kecil ini sepenuh hati meski sering memeras uang darinya. Terimakasih, Pak. Anakmu tak akan lagi memerasmu. Juga kepada seseorang berjubah putih yang telah mengajak melewati perjalanan gaib dan menceritakkan cerita dari langit. Bersyukurlah saya karena sudah diizinkan bertemu dengannya sehingga novel ini tercipta. Juga buat loper koran yang setia mengantarkan koran ke rumah. Tanpa jasanya, aku akan ketinggalan berita. Tentu juga untuk Alm. Pak Tarjo yang insyaallah tenang di alam sana dan mendapat tempat terindah. Aamiin. Dan terkahir yang paling utama tentu rasa syukur kepada Allah Sang Penguasa Langit dan Bumi yang masih memberikan waktu untuk bernapas. Tak ada sesuatu hal yang mustahil dari-Nya. Kun Fa Ya Kun. Pesan saya buat rekan-rekan semua, hargailah kedua orang tuamu. Jangan jadikan mereka sebagai sapi perahan. Dan ingatlah, masih banyak cerita dari langit yang tersembunyi. Setelah kematian ada kehidupan langit yang kekal. Terimkasih buat rekan-rekan semua. Semoga novel saya ini bisa menjadi tulisan yang bermanfaat buat kalian.”

Susana hening seketika. Ruangan ini terasa sunyi. Kulihat kembali orang berbaju putih itu tersenyum diantara ratusan orang yang menghadiri bedah karya novelku yang berjudul “Cerita Dari Langit."

“Luar biasa. Ternyata novel ini terinspirasi dari perjalanan gaib penulisnya. Penulis yang masih muda dan penuh talenta. Mari berikan tepuk tangan kepada Yusuf Ahmad Farizki,” ucap pembawa acara.

Ruangan seketika riuh kembali dengan tepuk tangan. Orang berjubah putih itu pun hilang bersamaan dengan audiens yang berdiri memberikan standing aplause.

Yogya, 2016
Kehidupan Tanpa Batas

Pelacur Itu Mendapat Gelar Ibu Indonesia

Dhedi R Ghazali | Wednesday, October 25, 2017 | 0 komentar
Sumber Gambar: kabarmuslim.com
 
 
“Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pelacur.

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.”

Dua paragraf itulah yang mengawali tulisan Goenawan Mohammad pada majalah Tempo Senin, 15 Desember 2008. Tulisan berjudul “Pelacur” tersebut bisa jadi adalah tulisan demi menyambut Hari Ibu yang jatuh di setiap bulan Desember. Goenawan Mohammad seolah ingin mencoba menerangi lorong gelap dengan rangkaian kata-katanya atau bisa juga mengajak melihat kegelapan dari sisi yang terang.

Di akhir tulisannya, Goenawan Mohammad dengan tegas mengatakan, “Bagi saya ia Ibu Indonesia Tahun 2008. Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil.”

Ya. Seorang pelacur dinisbatkan menjadi Ibu Indonesia 2008 atas dasar kegetiran hidup yang tetap dijalani dengan ketabahan demi masa depan anak-anaknya. Dari sudut perjuangan, tentu Nur Hidayah adalah sosok pejuang tangguh bagi anak-anaknya. Tapi, dari sudut yang lain, apakah seroang pelacur pantas dikatakan sebagai pejuang? Dengan sudut agama misalnya, tentu akan terjadi kesepakatan bahwa pelacur adalah orang yang melakukan pekerjaan yang hina. Lantas, apakah pantas gelar Ibu Indonesia diberikan kepada seseorang yang melakukan pekerjaan yang hina?

Benturan sudah pasti terjadi, antara sisi kemanusiaan dan sisi keimanan. Tiba-tiba di telinga terngiang lantun lagu “Kupu-Kupu Malam” yang didendangkan Titiek Puspa. Ya, lagu ini secara tidak langsung pun ingin mengatakan bahwa, “Menjadi pelacur bukanlah pilihan, tapi sebuah keterpaksaan memilih.” Berbicara terpaksa memilih tentu tak lepas dari pertanyaan, “Siapa yang memaksa?”

Kembali ke Nur Hidayah seorang pelacur beranak lima. Meminjam lirik dari lagu “Kupu-Kupu Malam”, Dosakah yang ia kerjakan, sucikah mereka yang datang? Pertanyaan itu sempat kontroversial dan membuat lagu tersebut dipuji sekaligus dicaci. Lagi-lagi dua sisi berbenturan, sisi kemanusiaan berperang dengan keimanan dan membuat dada bergemuruh, hati berkecamuk dan nalar bercabang. Dosakah? Tentu sisi keimanan akan tegas mengatakan: Dosa! Berbeda dengan sisi kemanusiaan yang menempatkan pertanyaan itu pada tempat yang remang-remang.

Keremangan itu barangkali muncul dari lirik lagu selanjutnya: Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya, yang dia tahu hanya menyambung nyawa. Sebuah pembenaran dari ketidakbenaran, kah? Dari sinilah sisi kemanusiaan semakin menonjolkan diri, toh ia melacur untuk menyambung nyawa, toh ada juga pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing. Itulah jawaban dari pertanyaan sebelumnya, “Siapakah yang memaksa?”. Yang memaksa adalah keadaan! Senada dengan Goenawan Mohammad yang melihat Nur Hidayah dari sisi kemanusiaan. Manusia yang tidak berdaya menghadapi keadaan. Keadaanlah yang memaksanya menjadi pelacur demi mencukupi kebutuhan lima anaknya.

Nur Hidayah sejatinya adalah nama yang anggun. Dan tentu orangtuanya tidak asalah memberinya nama Nur Hidayah. Nur adalah cahaya, dan hidayah adalah petunjuk. Petunjuk kepada cahaya, sungguh sesuatu yang luar biasa. Setidaknya ia menjadi petunjuk dan cahaya bagi gelapnya sisi kemanusiaan.

Berbicara kemanusiaan, sesuatu yang perlu dipertanyakan ketika seorang atas nama kemanusiaan dengan getol membela pelacur sebagai korban keadaan namun tidak memberikan solusi apa-apa kepadanya. Ya, sekedar membela demi menunjukkan sisi kemanusiaanya. Mungkin pembelaan seperti itu bukanlah hal penting lagi bagi para pelacur. Sebab mereka melacur demi uang untuk kehidupan, lantas kenapa tidak memberikan mereka uang atau pekerjaan untuk keluar dari pelacuran? Bukankah itu akan lebih manusiakan dari sekedar pembelaan? Begitu juga dengan gelar Ibu Indonesia yang tak akan merubah apa-apa jika Nur Hidayah tetap melacurkan diri. Dia akan tetap menyandang sebutan pelacur yang selama ini sering menjadi pemantik api peperangan antara sisi kemanusiaan dan sisi keimanan.

Lantas, mau berada di sisi mana kita?

Sebelum habis tinta pena ini, sebuah puisi dari Taufik Ismail berikut rasanya perlu untuk menjadi renungan.

Doa Terakhir Seorang Pelacur
Oleh: Taufik Ismail

luka apa saja yang kami teguk bersama malam
sedih apa saja yang kami telan besama embun
nikmat apa saja yang kami sambut bersama subuh
bahagia apa saja kami sajikan pada pagi

hari ini kami berdoa
tuhan, belailah rambut leleki
tuhan, tunjukkanlah jalan lelaki
tuhan, murahkanlah rezeki lelaki
tuhan, lembutkanlah hati lelaki

hari ini kami juga berikrar
tiada sakit yang mendera
tiada obat yang sakti
tiada dokter yang murah
tiada rumah sakit yang sehat

hari ini kami bersedih
tiada pelukkan pada azan
tiada ciuman pada sejadah
tiada doa pada tadah
tiada minta pada permintaan

pada perjalanan menuju ke sebuah liang
kami tersenyum mendengar haru
kanapa air mata terlalu murah
mungkin karena luka mereka yang menarah

doa terakhir kami kepadamu
terima kasih sudah mempersiapkan neraka


Semoga saja Nur Hidayah sedang merapal doa-doa demi terbebas dari jerat keadaan yang memaksanya melacurkan diri. Semoga sisi kemanusiaan tetap sejalan dengan keimanan dan para pelacur kembali sadar untuk menempuh jalan yang benar tanpa lagi ada alasan "terpaksa memilih".

Yogya, 2016


Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans detiksisa.  Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Barangsiapa yang memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim) 
 
Setiap artikel di blog ini murni hasil karya : Dhedi R Ghazali
Kehidupan Tanpa Batas

Cerpen Dhedi R Ghazali: Sebotol Napas untuk Kekasihku

Dhedi R Ghazali | Tuesday, October 24, 2017 | 0 komentar

Picture: pixabay.com

Tiara sayang. Tiara yang berwajah manis dan terang. Aku tidak sedang ingin mengirimimu sebatang coklat berpita merah jambu. Aku juga tidak sedang ingin memberimu sekuntum bunga berwarna merah hati. Surat ini juga bukan surat cinta berisi kata-kata yang lugu dan sendu. Tak ada juga aroma parfum Perancis dan gambar dua tanda tanya yang bertangkupan. Aku menulis surat ini di saat malam sudah hamil tua, di tengah kesepian dan taburan bintang-bintang yang berwarna-warni di altar langit yang hitam keabu-abuan. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi, tapi aku tak peduli. Bahkan dingin yang menyesap tulang-tulangku terasa menenangkan dan menghangatkan.

Tiara yang cantik dan akan selalu cantik. Bersama ini kusertakan beberapa helai nafasku yang terengah dan detak jantungku yang menggantung di dinding-dinding sebuah botol kaca yang bening. Kusertakan pula sepasang kunang-kunang yang cahayanya berwarna merah saga. Biar saat malam tiba, ia berkerlap-kerlip di sudut kamarmu. Agar tak lagi ada kegelapan yang membuatmu ketakutan. “Brangkali cahaya kunang-kunang itu bisa menjadi pengganti lampu tidurmu,” pikirku saat itu.

Tiara yang manis, akan kuceritakan bagaimana aku bisa memasukkan helai napas dan detak jantung di botol kaca itu. Suatu hari, di tengah gerimis yang tipis dan angin yang menelusup di daun-daun, aku duduk di sebuah bangku di bawah cahaya kuning lampu kota. Tiba-tiba aku teringat namamu. Kutuliskan sebuah puisi di sebuah kertas yang setiap hari kubawa. Kata demi kata seperti mengalir begitu saja. Kata yang penuh kerinduan. Kata yang penuh keheningan, yang dingin dan beku. Lembar demi lembar kertas terisi dengan loncatan huruf-huruf yang satu dengan yang lain mencari pasangannya masing-masing. Huruf-huruf itu kawin dan mulai beranak pinak. Membuat suatu koloni yang membentuk deretan kata dan deretan kata membentuk baris-baris dan bait-bait. Dalam beberapa menit saja ratusan huruf dan puluhan bait sudah terlahir. Bagaimana jika satu jam? Satu hari?

Aku tak peduli dengan gerimis. Tintaku tak akan luntur jika hanya terkena gerimis. Hingga pada akhirnya, sebelum sempat puisi itu selesai, hujan deras menghunjam dengan penuh kesombongan. Tintaku tak diciptakan untuk melawan hujan. Kau tahu apa yang terjadi? Puisi-puisi yang hampir jadi itu tak hanya luntur. Hujan membuatnya menjadi seperti bubur hingga tak ada satu hurufpun yang tersisa. Maafkan aku, sebab aku tak sempat menyimpannya kembali di dalam tasku.

Nafasku mulai terengah menahan marah. Detak jantungku berdegup kencang. Aku tak pernah mengerti kenapa nafas ini seperti sedang kehilangan sesuatu. Bukankah hanya sebuah puisi yang hilang? Ah. Tidak, Tiara! Yang kutulis bukan sekadar puisi. Puisi tak cukup untuk bisa menyampaikan kata-kata yang tak sempat kutuliskan dan kubacakan padamu. Puisi tak akan pernah bisa mewakili kata hati dan juga ketulusan serta keikhlasan. Tidak semua orang suka puisi dan tidak semua orang mau membacanya. Mungkin bisa jadi kau adalah salah satu dari yang banyak itu. Aku tak akan memaksamu untuk suka dengan puisi. Aku juga tak akan membiarkan puisi memaksamu untuk bisa jatuh cinta padaku. Biarkanlah cinta itu datang melewati jalan yang memang sudah ditentukan. Jalan yang mungkin saja terjal dan penuh kerikil tajam. Aku tak tahu. Sebab yang ada dipikiran manusia hanyalah kemungkinan-kemungkinan.

Dari kejauhan, kulihat seorang lelaki dengan baju compang-camping mendekat ke arahku. Dari penampilan yang seperti itu, aku menebak dia adalah orang gila. Tapi benar kata orang, jangan lihat seseorang dari penampilan luarnya saja. Tiara, ternyata meski dia tampak gila nyatanya dia tak gila seperti yang kukira.

Bahkan lebih waras dariku. “Masukkan nafas-nafasmu di botol ini!” Tangannya yang dekil itu menyodorkan sebuah botol yang terbuat dari kaca. Aku sempat berpikir lagi bahwa lelaki ini gila. Bagaimana mungkin kumasukkan helai nafas-nafasku di botol ini? Untuk apa juga memasukkannya?

“Helai nafasmu lebih bisa mengungkapkan segalanya daripada kata-kata yang makna dan artinya bisa berubah di setiap kepala yang berbeda. Kata-kata bisa berdusta, tapi helai nafas tak akan pernah mau berdusta,” orang yang kukira gila ini mulai menceramahiku.

Ia lantas pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Aku yang masih marah dengan nafas terengah, kembali sendirian. Kau harus percaya ini Tiara. Botol itu menyedot setiap nafasku yang berjejalan keluar dari hidung dan mulut. Kulihat mereka menempel di dinding-dinding botol itu. Aku bahkan bisa mendengar desir suaranya membacakan puisi yang kubuat untukmu. Apakah aku sudah gila Tiara?

Lampu kota itupun tiba-tiba bisa berbicara padaku. Ternyata ia tak seperti yang kuduga. Cahanya yang kekuningan penuh ketenangan, tak seperti nada bicaranya yang penuh ketegasan.

"Dekatkan botol itu padaku. Biarkan kumasukkan seberkas cahayaku ke dalamnya. Biar nafasmu tak cemas di dalam kegelapan dan tak pula kedinginan," ucap lampu kota itu.

Aku pun lantas mendekatkan botol itu. Tiba-tiba kerlap kerlip cahaya masuk ke dalamnya. Seperti puluhan kunang-kunang yang memamerkan keindahannya. Indah Tiara. Sangat indah.

Hujan pun reda. Lampu kota itu diam saat kutanya, "Harus kuapakan botol ini?"

Aku pun mulai mengingat-ngingat apa yang baru saja terjadi. Semakin kucoba mengingatnya, malam semakin putih saja. Subuh yang muram pun datang. Aku bergegas menyambutnya yang sudah menungguku di sebuah surau di sudut kota ini.

Yogya, 2017


Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans page kehidupan tanpa batas.  Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Barangsiapa yang memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim)




Kehidupan Tanpa Batas

Puisi Dhedi R Ghazali: Aku, Waktu dan Kehidupan

Dhedi R Ghazali | Sunday, October 22, 2017 | 0 komentar

Sumber Gambar: ornamenkehidupan.blogspot.com
 /1/
Pesta Jalanan

Pesta jalanan yang tak pernah usai:
Maghrib yang lirih, roda-roda menderu,
berputar terburu-buru. Lampu-lampu
laiknya bintang berjatuhan di aspal-
aspal yang sudah lama saling kenal

Angin yang tak tentu arah, mengibas-
kibaskan daun pohon-pohon kota,
seekor kucing bunting mengendap-endap
menyusup ke dalam pagar rumah tua

Berpasang-pasang kekasih berwajah-
wajah berbeda, tanpa ada tegur sapa
: wajah yang kuning, biru dan perak

Malam menggeliat, melekat pada
jantung kota Yogyakarta

Trotoar pengasingan, 2017


/2/
Malam


Malam yang terjaga: jeruji besi, pintu-
pintu kayu, mata di sudut-sudut ruang
dan cahaya lampu terjatuh di tembok
yang mengelupas.

Malam yang dingin: lorong-lorong sepi,
aroma tembakau, angka-angka di-
dalam kepala, dan rasa
kantuk di mana-mana

Aku melihat bayanganku sendiri
yang kadang di belakang, di depan
dan di sampingku
dan aku senang

Yogya, 2017

/3/
Cerita Usang


Sekali lagi aku jatuh hati
pada bantaran kali
Pada air yang mengalir
melewati celah-celah bebatuan cadas
Gemericiknya berdenyut di kepala
dan cahaya yang hening
menyelinap dari celah daun-daun

Aroma alam : bau tanah, bau kayu-
kayu yang kering dan basah

Seorang pemancing tua dengan batang bambu
Ikan-ikan berkecipak: ekornya merah menyala
tubuhnya mengkilap keemasan

Ada kesabaran yang lesap bersama asap
yang beraroma kemenyan

Aku sekali lagi jatuh cinta
pada pendoa yang takzim bertapa
di atas batu. Ia tak henti-hentinya
berdoa untuk: ikan-ikan kecil
riak-riak di air
dan pemancing tua

Yogya, 2017

/4/
 Krah Baju

Pada akhirnya, malam benar-
benar menjadi hantu:
pohon-pohon diam, burung dandang
haus menatap kosong

Ada yang berbisik selirih napas
"Sudahkah kau benarkan krah bajumu?"

Cahaya lampu serupa bayanganmu
malam pecah, segalanya luruh
ke dalam udara. Tak ada yang
perlu aku katakan: kau kudekap;
kau mendekapku dan kau benarkan
krah baju di batang leherku

Kerinduan rebah di udara
tak ada kata, tak ada bahasa
tulang-tulang yang ngilu
Kenangan lahir di sudut kamar
berteriak tanpa suara:
dingin dan hambar

Yogya, 2017

/5/
Sebuah Percakapan


percakapan pohon-pohon randu alas
yang lebih diam dari kebisuan--
bahasa yang tak asing di telinga:
bahasa kesepian yang menelikung senja
tempat tubuhku bersandar dan
membagikan cerita tentang:
seorang anak yang bermain ayunan
di depan nisan tak bernama,
seorang ibu yang menanak kesepian
di belakang bukit tak bertuan

(sajak-sajak paling duka keluar dari dalam gua yang menua)

kelahiran yang tergesa-gesa
kehidupan yang singkat dan lama
kematian yang begitu sabar

(kidung-kidung paling luka keluar bersama helai napas yang berdenyut)

api-api kelahiran, asap-asap kehidupan, abu-abu kematian
menjelma sebuah peti mati tanpa jenazah:
yang diseret-seret di jalan berbatu
menuju pemakaman raja-raja

musim kemarau: pohon-pohon bisu
senja: lampu-lampu kehilangan cahaya
malam: rembulan kuning pucat

percakapan musim, senja dan malam
yang lebih diam dari kebisuan
berbicara tentang: daun-daun gugur,
ranting-ranting tua dan burung hantu
yang hinggap di nisan-nisan

Yogya, 2017



Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans page kehidupan tanpa batas.  Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Barangsiapa yg memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yg melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim)
Kehidupan Tanpa Batas

MARSINAH

Dhedi R Ghazali | Sunday, October 22, 2017 | 1komentar

Sumber: arahjuang.com


Siapa namamu?

Nama saya Marsinah, Tuan. Seorang buruh pabrik arloji. Saya bekerja dari pagi hingga petang. Meskipun kerja di pembuatan arloji, rasanya seperti waktu berputar begitu lambat. Kadang pulang sampai petang untuk lembur. Tapi sayang, uang lembur tak seberapa. Meski demikian, saya bersyukur karena masih bisa makan.

Apakah kau sedang mengeluh dengan keadaanmu?

Bukan hanya saya. Tapi teman-teman buruh lain pun sejatinya mengeluh. Seperti kata Sapardi di puisinya, “Kami ini tak banyak kehendak, sekadar hidup layak, sebutir nasi.” Namun ternyata rasa lapar tak cukup untuk bisa membuat teman-teman saya berteriak menuntut kelayakan. Mereka lebih takut ketika Bos Pabrik mengancam memecat jika terlalu menuntut ini-itu. Padahal kami hanya ingin mendapat gaji yang pantas. Pantas sesuai dengan waktu yang terampas. Maksud saya berbicara seperti ini adalah ingin mengatakan bahwa derita kami sudah naik seleher, ditindas sampai di luar batas.

Kau ternyata pandai bicara. Kata-katamu itu membuatku merinding.

Maaf, Tuan. Tapi itu bukan kata-kata saya. Saya hanya mengutipnya dari seorang penyair kerempeng yang cacat mata sebelahnya. Kalau tidak salah namanya Wijhi Thukul. Lagipula, buruh seperti saya ini mana bisa berbicara yang nyastra. Yang ada hanya berbicara dengan hati. Mengutarakan kegelisahan yang berasal dari perut lalu mengalir ke kepala hingga meluber lewat mulut. Kami kadang berpikir, setidaknya bisa menjadi sesuatu yang berarti dan sesudah itu mati.

Kali ini kau mengutip kata-kata Chairil Anwar? 

Benar, Tuan. Dia adalah penyair yang saya kagumi. Saya ini buta huruf. Kata-kata itu saya dengar dari radio. Katanya, si Binatang Jalang itu akan jadi pahlawan dalam dunia sastra.
Kau ingin jadi Pahlawan juga?

Ah, Tuan ini pandai bercanda. Buruh seperti saya memang mau jadi pahlawan apa? Pahlawan pergerakan demonstran? Yang ada hanya akan diburu. Dikejar sampai liang lahat oleh aparat. Lagipula—kali ini saya kutip perkataan Galileo—“Tak berbahagialah negeri yang memerlukan pahlawan.” Seseorang bisa disebut Pahlawan dan dikenang setelah ia meninggal lalu mayatnya dikubur di taman makam Pahlawan. Sedangkan saya? Bahkan sering gelisah karena takut mayat saya tak pernah diketemukan oleh sanak-saudara. Membusuk begitu saja dengan tanah kembali ke Illah. Lagipula, saya lebih suka dikenang lewat puisi Sapardi. Betul kata dia, dan barangkali sama dengan apa yang ada di pikiran, Tuan, bahwa saya suka merebus kata hingga mendidih lalu menguap ke mana-mana.

Lalu, sekarang kau sedang berada di mana, surga atau neraka?

Tuan ini apakah malaikat? Kalau iya, jangan usir saya ke dunia lagi. Saya tak tahu apakah ini surga atau neraka. Yang saya tahu hanya bahwa dunia di luar sana adalah neraka bagi saya. Di sana pula saya disekap, diikat di kursi, diacak-acak selangkangannya, dan dipukul dengan besi batangan.
(Tuan itu ternyata malaikat. Malaikat yang tak suka banyak berkata tapi lebih suka banyak bertanya)

Kalau begitu, ayo ikut aku. Kita pergi dari tempat ini!

Memang hendak ke mana, Tuan?

Surga...

Yogya, 2017

Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans page kehidupan tanpa batas.  Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Barangsiapa yg memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yg melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim)
Kehidupan Tanpa Batas
 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger