Home » , , » Cerpen Dhedi R Ghazali: Cerita dari Langit

Cerpen Dhedi R Ghazali: Cerita dari Langit

Dhedi R Ghazali | Thursday, October 26, 2017 | 0 komentar
Gambar: kabarislam.com

Malam yang hujan. Ya. Hujan sedang menghukum para pengumbar nafsu di luar sana. Tak ada dua sejoli saling melingkarkan tangan di bahu. Ah, lihatlah tangan lelaki belangsak itu, yang mulai merayap seperti pemerah susu sapi. Atau mungkin memang dia seorang pemerah susu? Tangannya begitu piawai. Sayangnya malam ini dia tak kelihatan. Hujan benar-benar menghukumnya. Barangkali jemari-jemarinya sedang merasakan gatal yang teramat saat ini. Sudah, mari tinggalkan lelaki pemerah susu itu. Sekarang alihkan pandangan ke balik semak-semak di seberang jalan. Ada dua ekor anjing sedang berhubungan intim. Kalian lihat, kan? Semak-semak itu memberontak, seakan mau bicara, “Dasar anjing! Pergi kalian! Aku tak sudi menjadi sarana dosa terindah kalian berdua. Kusumpahi kalian mati besuk pagi!”

***

Pagi ini seperti biasa. Setelah melakukan pertemuan dengan Tuhan, dan berlanjut ke tugas sebagai seorang anak, tepat pukul enam pagi kuseduh secangkir kopi. Tak selang lama, seorang loper koran—seseorang yang begitu berjasa bagi pagi-pagiku—melemparkan jendela dunia yang tepat mendarat di mukaku, “Maafkan aku kawan. Aku salah sasaran. Seharusnya bidikanku adalah burung mungil di balik kibaran sarungmu itu.” Dia tertawa terbahak dan kembali mengayuh sepedanya.

Ya. Begitulah keseharianku dengan loper koran saat menyambut pagi. Semacam ucapan selamat datang kepada matahari. Loper koran itu adalah salah satu penggemar Joko Pinurbo yang tergila-gila dengan sarung, bantal, ranjang bahkan sampai ke celana dalam. Jadi jangan kaget jika terkadang otaknya tersumpal kutang. Hahaha... aku tidak sedang menghinanya. Inilah bentuk apresiasi seseorang kepada sahabatnya. Aku yakin, dia akan tersenyum membaca apa yang baru saja kutuliskan.

“Dua Ekor Anjing Mati di Semak-Semak”. Judul berita yang menjadi headline itu sontak membuat mataku keluar dari sarangnya. Bukankah baru semalam kulihat dua ekor anjing di tempat yang sama sedang berbuat dosa terindah? Aku bahkan masih ingat warna kulitnya yang putih kecoklatan. Juga suara desahan itu, benar-benar masih menggerayangi kedua telinga. Sampai-sampai terbawa mimpi, dan esok harinya harus kurelakan tubuhku diguyur air yang begitu dingin dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ya. Aku menjadi saksi sekaligus penikmat dari perbuatan kedua anjing yang mati disemak-semak seberang jalan. Dan dengan begitu, aku pun juga sedang mengaliri nafsuku dengan asupan secangkir nanah kecoklat-coklatan. Dosakah? Tentu. Bahkan matak sejatinya ingin dibutakan setelah melihat peristiwa malam itu. Sepadankah mata menuntut buta hanya karena melihat sesuatu yang menyenangkan? Sebuah pertanyaan konyol yang terus saja menghunjam otakku yang mulai dijejali air liur setan.

***

Dadaku masih bergetar hebat. Secangkir kopi panas kusambar cepat. Tak terasa panasnya di bibirku yang beku. Sebatang rokok kuhisap dalam-dalam, kepulan asap keluar dari kedua lubang hidung dan berlanjut lewat mulut yang sedari tadi merasakan kecut. Lembar demi lembar koran terjatuh di lantai. Meski aku adalah penggemar koran, tapi bukan berarti menjadi pembaca yang baik. Tidak semua berita di dalamnya kubaca. Hanya beberapa saja yang memang sekiranya menumbuhkan rasa penasaran. “Ditemukan Mayat di Dalam Got”. Ah, entah apa yang ada di kepala ini sehingga sangat tertarik dengan hal-hal berbau kematian. Okelah. Sekali lagi berita tentang kematian berhasil memantik rasa penasaranku.

Mayat tanpa identitas ditemukan di sebuah got tengah kota. Ciri-cirinya: terakhir memakai kaos oblong warna putih kumal, umur diperkirakan enampuluh tahun dan membawa foto seorang anak lelaki. Di belakang foto itu ada sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa itu adalah foto anaknya. Ya, Tuhan. Ciri-ciri mayat itu sama persis dengan seorang kakek yang kutemui beberapa hari lalu. Seorang kakek yang mencari anak semata wayagnya yang sejak beberapa tahun terakhir tidak memberi kabar.

Berita itu pada akhirnya mengingatkanku kepada Pak Tarjo. Beberapa hari lalu aku tidak sengaja bertemu dengannya di taman tengah kota. Umurnya enampuluhan, baju yang dipakai juga kaos oblong warna putih, bahkan dia juga sedang mencari anaknya yang tidak pernah pulang semenjak beberapa tahun terakhir. Apakah ini sebuah kebetulan saja? Atau memang mayat itu adalah mayat Pak Tarjo? Otakku dipenuhi benang-benang merah yang saling berhubungan mesti terlihat semrawutan. Tiba-tiba aku merasa menjadi seorang detektif yang sedang menangani kasus pembunuhan besar. Dari berita itu sama sekali tidak ditemukan identitas diri. Tak ada dompet ataupun barang berharga lainnya. Polisi pun mencurigai mayat itu adalah korban pencurian dengan kekerasan yang berujung kepada kematian. Tapi anehnya tidak ditemui luka tikaman benda tajam. Hanya ada sedikit lebam di muka.

Hari ini benar-benar terasa seperti mimpi saja. Semua serba kebetulan. Mulai dari dua ekor anjing mati di semak-semak sampai ditemukannya mayat di got. Kepala ini mulai terasa pusing. Rasa kantuk tiba-tiba saja menyerang dengan hebatnya. Aku putuskan untuk masuk ke kamar. Sekadar ingin merebahkan tubuh yang lelah. Kebetulan hari ini hari minggu. Jadi tak ada jadwal kerja.

***

Malam itu hawa dingin mendekap kota. Kulintasi jalan dengan sepeda motor. Jalanan yang sepi sebab sudah larut malam. Meskipun demikian, sesampainya di sebuah jalan yang dikenal sebagai jalan pelacur, banyak paha-paha berkeliaran. Wanita-wanita dengan belahan dada yang menyembul keluar, dan banci-banci yang menjulurkan lidahnya seperti mengisyaratkan untuk mengajak melakukan sesuatu. Sesuatu yang kuyakin banyak lelaki yang sudah paham apa maksudnya. Ah, bumi ini memang wanita jalang seperti kata Subagio dalam puisinya. Pemabuk wara-wiri sambil sesekali merayu pelacur. Sebuah pemandangan yang mudah ditemui di jalanan ini. Pelacur tak mau kalah, dia tak rela tubuhnya dipegang-pegang tanpa diberi uang. Lagi-lagi uang menjadi raja. Tak sedikit pula gerombolan remaja yang asyik memadu kasih dengan pasangannya. Nongkrong di atas motor, sedang seorang wanita di belakangnya memeluk sambil menciumi leher kekasihnya, tangannya menyelinap di balik kibaran celana jeans itu. Gila! Aku hanya bisa menelan ludah. Ada keinginan berhenti sejenak untuk setidaknya melihat tontonan gratis itu. Tapi kubuang jauh pikiran itu. Ujungnya nanti hanya membuatku harus mandi lagi pagi-pagi buta setelah memimpikan sesuatu yang menggetarkan sekujur badan.

Beberapa meter di depan, kulihat Pak Tarjo sedang bercengkerama dengan seorang remaja. Bukan cengkerama yang hangat nampaknya. Terlihat seperi cek-cok seroang anak yang sedang meminta uang kepada ayahnya. Apakah remaja itu adalah anak Pak Tarjo yang sedang dia cari? Jika memang benar, maka aku tidak akan segan menyebut dia seorang anak tak tahu diri, atau bahkan aku akan katai dia dengan sebutan bajingan! Tapi tunggu sebentar. Bukankah aku juga pernah merengek meminta uang kepada bapakku untuk membeli motor? Bahkan sampai membentak beliau. Kalau begitu, aku ini juga tak lebih baik dari remaja yang kusebut bajingan tadi. Hahahah... seorang bajingan yang mengatai orang lain dengan kata bajingan. Ya, Tuhan. Sungguh kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain sudah menggerogoti jiwaku ini.

Malam semakin dingin. Kulaju motor dengan kecepatan di atas 80km/jam. Rasanya ingin segera sampai rumah. Ingin lekas bertemu dengan bapakku dan meminta maaf atas kesalahan anaknya ini. Kesalahan yang pastinya sangat banyak.

Di sebuah pertigaan tiba-tiba sebuah mobil memotong jalan, dan..., “Braaakk!!!”.
Semua jadi gelap seketika. Di dalam kegelapan itu datang seseorang berjubah yang mendatangiku.

“Mari kuajak melihat sesuatu, Nak.”

Ya, Tuhan. Siapa orang ini. Dia mengajakku terbang. Ya! Terbang!

“Apakah aku sudah mati? Mau kau ajak kemana aku?”

Orang itu hanya tersenyum. Tak selang beberapa lama, entah bagaimana bisa, aku sudah berada di tempat Pak Tarjo yang sedang cek-cok dengan anaknya. Dari atas sini bisa kulihat dengan jelas percek-cokan anak dengan ayah itu. Terlihat keduanya saling berselisih dengan sesekali mengeluarkan kata-kata yang tajam. Pak Tarjo dengan wajah keriputnya sesekali mengusap airmata yang terjatuh di matanya yang sudah remang-remang. Menit-menit berikutnya menjadi menit-menit yang menegangkan sekaligus menguras kemarahan di dalam diri. Menyulut gelora emosi hingga membakar seisi hati. Anak itu mulai melakukan hal yang di luar batas. Dia mengambil paksa dompet di dalam saku ayahnya yang sudah renta. Pak Tarjo menolak. Dengan sisa-sisa tenaganya yang tentu jelas kalah dengan seorang pemuda dia mencoba meronta. Bukannya semakin iba, justru anaknya semakin belangsak. Dia pukul Pak Tarjo berulang kali. Hingga akhirnya terjatuh di sebuah got. Setelag itu, dia mengambil dompet, juga jam tangan yang dipakai Pak Tarjo. Sebuah foto tak lepas dari penglihatannya yang seperti macan kelaparan atau lebih tepatnya seperti anjing gila. Diremas foto itu dan dibuang begitu saja di samping tubuh renta yang sudah tak berdaya. Anak itu pergi meninggalkan ayahnya yang sekarat. Pak Tarjo mengambil foto itu dan digenggam erat sampai akhrinya napasnya terhenti.

Mataku terbelalak melihat kejadian itu. Jadi mayat di got dalam berita yang kubaca tadi adalah memang mayat Pak Tarjo? Pertanyaan itu menyentak, menyeruak di kepala.

“Ya. Kau benar, Nak. Mayat itu adalah Pak Tarjo. Seorang bapak yang mencari anaknya, dan setelah bertemu, justru anaknya pulalah yang mengantarkannya kepada kematian. Mari kita ikuti anak itu.” Orang berjubah putih lalu menggandengku. Mengajakku mengikuti anak belangsak yang baru saja membunuh ayah kandungnya.

Pikiranku masih berkecamuk. Dalam suasana yang membuat hati teriris, ada sesuatu yang lagi-lagi membuat bertanya-tanya. Bagaimana mungkin orang berjubah putih itu bisa tahu apa yang ada di dalam kepala ini? Apakah dia bisa membaca pikiran. Pertanyaan demi pertanyaan yang gaib silih berganti menghunjam.

“Sudah, Nak. Jangan dipikirkan. Semua sudah terjadi. Mari kita lihat cerita selanjutnya. Apa yang anak durhaka itu lakukan dengan uang hasil dari membunuh bapaknya.”

Di tepi jalan, anak Pak Tarjo menghampiri salah satu pelacur. Terjadilah negosisai. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, aku tahu pasti kalau uang itu akan digunakan untuk menyewa pelacur. Dasar anjing! Uang yang di dompet rampasannya tak seberapa rupanya. Hanya beberapa ratus ribu. Terjadi tawar-menawar yang alot. Sampai akhirnya, pelacur itu mau dibayar hanya dengan uang seratus ribu rupiah. Waw! Hanya dengan seratus ribu rupiah bisa mendapatkan tubuh! Tapi tak heran, bukankah bahkan banyak di luar sana yang bersedia memberikan tubuh kepada pacarnya hanya dengan dasar suka sama suka? Bahkan tak sedikit yang berujung kepada kehamilan dan mengugurkannya. Mereka berdua lalu berjalan ke semak-semak seberang jalan. Rasanya tak bisa menyewa kamar untuk melakukan hubungan badan. Akhirnya kedua anjing itu melakukannya di balik semak-semak dengan alas sarung. Gila! Kalian tahu apa yang terjadi? Setelah beberapa menit melakukan hubungan badan, keuda anjing itu kejang-kejang. Tak lama kemudian, malaikat maut mencabut nyawa keduanya tanpa belas kasihan. Ya, Gusti, jadi....

“Ya, kau betul, Nak. Kedua anjing yang mati di semak-semak itu adalah anak Pak Tarjo yang sedang berhubungan badan dengan seorang pelacur,” ucap orang berjubah putih sambil menepuk pundakku.

“Sudah cukup kuajak kau melihat cerita dari langit ini, Nak. Bersyukurlah karena kau menjadi salah satu orang terpilih yang diizinkan untuk melihat cerita ini. Pulanglah.”

***

“Ayolah bangun, Suf. Apa kau tak mau lagi kuantarkan koran di pagimu? Apa kau tak rindu denganku yang selalu mengahantam burung mungil di sangkarmu itu dengan gulungan koran?” Suara dari Indra menyelinap di telingaku.

“Jangan asal ngomong. Burungku gak mungil. Kau mau lihat?”

“Alhamdulillah Gusti. Matur nuwun sudah Kau kabulkan doa-doaku.” Indra memelukku. Airmatanya meleleh melihat aku yang sadarkan diri.

Sebuah pukulan ringan kudaratkan tepat di pusakanya, “Ternyata burungmu jauh lebih mungil dariku.”

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Tak ada rasa sakit yang kurasakan. Hanya kejadian yang baru saja kualami dengan seorang berjubah putih itu masih menancap kuat di kepala.

“Syukurlah, Suf. Sudah hampir dua hari kau tak sadarkan diri setelah kecelakan malam itu. Bapakmu terus-terusan menunggumu di sini sambil membacakan Al-Qur’an. Bersyukurlah mendapatkan ayah sehebat itu.”

***

“Begitulah garis besar novel saya. Sebuah novel yang terinspirasi dari perjalanan gaib yang menceritakan cerita dari langit. Sebuah cerita yang selalu tertanam dalam benak sampai detik ini. Sebuah cerita yang membuat saya menjadi sadar betapa besar kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Dan sebuah cerita tentang realita kehidupan kota di bumi yang seperti wanita jalang ini. Tentu juga cerita tentang burung mungil di balik kibaran sarung seorang loper koran...”

Tepuk tangan bergema di dalam gedung ini. Beberapa orang tertawa lepas. Kulihat Indra menutupi wajahnya yang mulai merah.

“Bukan semata karena novel berjudul “Cerita Dari Langit” yang akhirnya menjadi best seller ini yang menbuat saya merasa puas. Tapi lebih dari itu, lewat novel ini pula saya merasa menjadi orang yang beruntung karena terlahir dari seorang ayah yang luar biasa. Yang masih menyayangi bajingan kecil ini sepenuh hati meski sering memeras uang darinya. Terimakasih, Pak. Anakmu tak akan lagi memerasmu. Juga kepada seseorang berjubah putih yang telah mengajak melewati perjalanan gaib dan menceritakkan cerita dari langit. Bersyukurlah saya karena sudah diizinkan bertemu dengannya sehingga novel ini tercipta. Juga buat loper koran yang setia mengantarkan koran ke rumah. Tanpa jasanya, aku akan ketinggalan berita. Tentu juga untuk Alm. Pak Tarjo yang insyaallah tenang di alam sana dan mendapat tempat terindah. Aamiin. Dan terkahir yang paling utama tentu rasa syukur kepada Allah Sang Penguasa Langit dan Bumi yang masih memberikan waktu untuk bernapas. Tak ada sesuatu hal yang mustahil dari-Nya. Kun Fa Ya Kun. Pesan saya buat rekan-rekan semua, hargailah kedua orang tuamu. Jangan jadikan mereka sebagai sapi perahan. Dan ingatlah, masih banyak cerita dari langit yang tersembunyi. Setelah kematian ada kehidupan langit yang kekal. Terimkasih buat rekan-rekan semua. Semoga novel saya ini bisa menjadi tulisan yang bermanfaat buat kalian.”

Susana hening seketika. Ruangan ini terasa sunyi. Kulihat kembali orang berbaju putih itu tersenyum diantara ratusan orang yang menghadiri bedah karya novelku yang berjudul “Cerita Dari Langit."

“Luar biasa. Ternyata novel ini terinspirasi dari perjalanan gaib penulisnya. Penulis yang masih muda dan penuh talenta. Mari berikan tepuk tangan kepada Yusuf Ahmad Farizki,” ucap pembawa acara.

Ruangan seketika riuh kembali dengan tepuk tangan. Orang berjubah putih itu pun hilang bersamaan dengan audiens yang berdiri memberikan standing aplause.

Yogya, 2016
Share this article :
Kehidupan Tanpa Batas

0 komentar:

Post a Comment

 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger