Home » , , , » Pelacur Itu Mendapat Gelar Ibu Indonesia

Pelacur Itu Mendapat Gelar Ibu Indonesia

Dhedi R Ghazali | Wednesday, October 25, 2017 | 0 komentar
Sumber Gambar: kabarmuslim.com
 
 
“Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pelacur.

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.”

Dua paragraf itulah yang mengawali tulisan Goenawan Mohammad pada majalah Tempo Senin, 15 Desember 2008. Tulisan berjudul “Pelacur” tersebut bisa jadi adalah tulisan demi menyambut Hari Ibu yang jatuh di setiap bulan Desember. Goenawan Mohammad seolah ingin mencoba menerangi lorong gelap dengan rangkaian kata-katanya atau bisa juga mengajak melihat kegelapan dari sisi yang terang.

Di akhir tulisannya, Goenawan Mohammad dengan tegas mengatakan, “Bagi saya ia Ibu Indonesia Tahun 2008. Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil.”

Ya. Seorang pelacur dinisbatkan menjadi Ibu Indonesia 2008 atas dasar kegetiran hidup yang tetap dijalani dengan ketabahan demi masa depan anak-anaknya. Dari sudut perjuangan, tentu Nur Hidayah adalah sosok pejuang tangguh bagi anak-anaknya. Tapi, dari sudut yang lain, apakah seroang pelacur pantas dikatakan sebagai pejuang? Dengan sudut agama misalnya, tentu akan terjadi kesepakatan bahwa pelacur adalah orang yang melakukan pekerjaan yang hina. Lantas, apakah pantas gelar Ibu Indonesia diberikan kepada seseorang yang melakukan pekerjaan yang hina?

Benturan sudah pasti terjadi, antara sisi kemanusiaan dan sisi keimanan. Tiba-tiba di telinga terngiang lantun lagu “Kupu-Kupu Malam” yang didendangkan Titiek Puspa. Ya, lagu ini secara tidak langsung pun ingin mengatakan bahwa, “Menjadi pelacur bukanlah pilihan, tapi sebuah keterpaksaan memilih.” Berbicara terpaksa memilih tentu tak lepas dari pertanyaan, “Siapa yang memaksa?”

Kembali ke Nur Hidayah seorang pelacur beranak lima. Meminjam lirik dari lagu “Kupu-Kupu Malam”, Dosakah yang ia kerjakan, sucikah mereka yang datang? Pertanyaan itu sempat kontroversial dan membuat lagu tersebut dipuji sekaligus dicaci. Lagi-lagi dua sisi berbenturan, sisi kemanusiaan berperang dengan keimanan dan membuat dada bergemuruh, hati berkecamuk dan nalar bercabang. Dosakah? Tentu sisi keimanan akan tegas mengatakan: Dosa! Berbeda dengan sisi kemanusiaan yang menempatkan pertanyaan itu pada tempat yang remang-remang.

Keremangan itu barangkali muncul dari lirik lagu selanjutnya: Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya, yang dia tahu hanya menyambung nyawa. Sebuah pembenaran dari ketidakbenaran, kah? Dari sinilah sisi kemanusiaan semakin menonjolkan diri, toh ia melacur untuk menyambung nyawa, toh ada juga pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing. Itulah jawaban dari pertanyaan sebelumnya, “Siapakah yang memaksa?”. Yang memaksa adalah keadaan! Senada dengan Goenawan Mohammad yang melihat Nur Hidayah dari sisi kemanusiaan. Manusia yang tidak berdaya menghadapi keadaan. Keadaanlah yang memaksanya menjadi pelacur demi mencukupi kebutuhan lima anaknya.

Nur Hidayah sejatinya adalah nama yang anggun. Dan tentu orangtuanya tidak asalah memberinya nama Nur Hidayah. Nur adalah cahaya, dan hidayah adalah petunjuk. Petunjuk kepada cahaya, sungguh sesuatu yang luar biasa. Setidaknya ia menjadi petunjuk dan cahaya bagi gelapnya sisi kemanusiaan.

Berbicara kemanusiaan, sesuatu yang perlu dipertanyakan ketika seorang atas nama kemanusiaan dengan getol membela pelacur sebagai korban keadaan namun tidak memberikan solusi apa-apa kepadanya. Ya, sekedar membela demi menunjukkan sisi kemanusiaanya. Mungkin pembelaan seperti itu bukanlah hal penting lagi bagi para pelacur. Sebab mereka melacur demi uang untuk kehidupan, lantas kenapa tidak memberikan mereka uang atau pekerjaan untuk keluar dari pelacuran? Bukankah itu akan lebih manusiakan dari sekedar pembelaan? Begitu juga dengan gelar Ibu Indonesia yang tak akan merubah apa-apa jika Nur Hidayah tetap melacurkan diri. Dia akan tetap menyandang sebutan pelacur yang selama ini sering menjadi pemantik api peperangan antara sisi kemanusiaan dan sisi keimanan.

Lantas, mau berada di sisi mana kita?

Sebelum habis tinta pena ini, sebuah puisi dari Taufik Ismail berikut rasanya perlu untuk menjadi renungan.

Doa Terakhir Seorang Pelacur
Oleh: Taufik Ismail

luka apa saja yang kami teguk bersama malam
sedih apa saja yang kami telan besama embun
nikmat apa saja yang kami sambut bersama subuh
bahagia apa saja kami sajikan pada pagi

hari ini kami berdoa
tuhan, belailah rambut leleki
tuhan, tunjukkanlah jalan lelaki
tuhan, murahkanlah rezeki lelaki
tuhan, lembutkanlah hati lelaki

hari ini kami juga berikrar
tiada sakit yang mendera
tiada obat yang sakti
tiada dokter yang murah
tiada rumah sakit yang sehat

hari ini kami bersedih
tiada pelukkan pada azan
tiada ciuman pada sejadah
tiada doa pada tadah
tiada minta pada permintaan

pada perjalanan menuju ke sebuah liang
kami tersenyum mendengar haru
kanapa air mata terlalu murah
mungkin karena luka mereka yang menarah

doa terakhir kami kepadamu
terima kasih sudah mempersiapkan neraka


Semoga saja Nur Hidayah sedang merapal doa-doa demi terbebas dari jerat keadaan yang memaksanya melacurkan diri. Semoga sisi kemanusiaan tetap sejalan dengan keimanan dan para pelacur kembali sadar untuk menempuh jalan yang benar tanpa lagi ada alasan "terpaksa memilih".

Yogya, 2016


Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans detiksisa.  Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Barangsiapa yang memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yang melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim) 
 
Setiap artikel di blog ini murni hasil karya : Dhedi R Ghazali
Share this article :
Kehidupan Tanpa Batas

0 komentar:

Post a Comment

 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger