![]() |
Sumber: arahjuang.com |
Siapa namamu?
Nama saya Marsinah, Tuan. Seorang buruh pabrik
arloji. Saya bekerja dari pagi hingga petang. Meskipun kerja di
pembuatan arloji, rasanya seperti waktu berputar begitu lambat. Kadang
pulang sampai petang untuk lembur. Tapi sayang, uang lembur tak
seberapa. Meski demikian, saya bersyukur karena masih bisa makan.
Apakah kau sedang mengeluh dengan keadaanmu?
Bukan hanya saya. Tapi teman-teman buruh lain pun sejatinya mengeluh.
Seperti kata Sapardi di puisinya, “Kami ini tak banyak kehendak, sekadar
hidup layak, sebutir nasi.” Namun ternyata rasa lapar tak cukup untuk
bisa membuat teman-teman saya berteriak menuntut kelayakan. Mereka lebih
takut ketika Bos Pabrik mengancam memecat jika terlalu menuntut
ini-itu. Padahal kami hanya ingin mendapat gaji yang pantas. Pantas
sesuai dengan waktu yang terampas. Maksud saya berbicara seperti ini
adalah ingin mengatakan bahwa derita kami sudah naik seleher, ditindas
sampai di luar batas.
Kau ternyata pandai bicara. Kata-katamu itu membuatku merinding.
Maaf, Tuan. Tapi itu bukan kata-kata saya. Saya hanya mengutipnya dari
seorang penyair kerempeng yang cacat mata sebelahnya. Kalau tidak salah
namanya Wijhi Thukul. Lagipula, buruh seperti saya ini mana bisa
berbicara yang nyastra. Yang ada hanya berbicara dengan hati.
Mengutarakan kegelisahan yang berasal dari perut lalu mengalir ke kepala
hingga meluber lewat mulut. Kami kadang berpikir, setidaknya bisa
menjadi sesuatu yang berarti dan sesudah itu mati.
Kali ini kau mengutip kata-kata Chairil Anwar?
Benar, Tuan. Dia adalah penyair yang saya kagumi. Saya ini buta huruf.
Kata-kata itu saya dengar dari radio. Katanya, si Binatang Jalang itu
akan jadi pahlawan dalam dunia sastra.
Kau ingin jadi Pahlawan juga?
Ah, Tuan ini pandai bercanda. Buruh seperti saya memang mau jadi
pahlawan apa? Pahlawan pergerakan demonstran? Yang ada hanya akan
diburu. Dikejar sampai liang lahat oleh aparat. Lagipula—kali ini saya
kutip perkataan Galileo—“Tak berbahagialah negeri yang memerlukan
pahlawan.” Seseorang bisa disebut Pahlawan dan dikenang setelah ia
meninggal lalu mayatnya dikubur di taman makam Pahlawan. Sedangkan saya?
Bahkan sering gelisah karena takut mayat saya tak pernah diketemukan
oleh sanak-saudara. Membusuk begitu saja dengan tanah kembali ke Illah.
Lagipula, saya lebih suka dikenang lewat puisi Sapardi. Betul kata dia,
dan barangkali sama dengan apa yang ada di pikiran, Tuan, bahwa saya
suka merebus kata hingga mendidih lalu menguap ke mana-mana.
Lalu, sekarang kau sedang berada di mana, surga atau neraka?
Tuan ini apakah malaikat? Kalau iya, jangan usir saya ke dunia lagi. Saya tak tahu apakah ini surga atau neraka. Yang saya tahu hanya bahwa dunia di luar sana adalah neraka bagi saya. Di sana pula saya disekap, diikat di kursi, diacak-acak selangkangannya, dan dipukul dengan besi batangan.
(Tuan itu ternyata malaikat. Malaikat yang tak suka banyak berkata tapi lebih suka banyak bertanya)
Kalau begitu, ayo ikut aku. Kita pergi dari tempat ini!
Memang hendak ke mana, Tuan?
Surga...
Yogya, 2017
Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat. Silahkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Setelah membaca, saya harap juga bisa meninggalkan komentar serta like fans page kehidupan tanpa batas. Semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Barangsiapa yg memberi petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah pahala seperti orang yg melakukan kebaikan itu.” (HR Muslim)
1 komentar:
Tulisan yang menarik, salam santun
Post a Comment